Di sinilah para elite wajib taat asas, patuh dan konsisten kepada prinsip-prinsip konstitusi negara seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. Tidak “mencla-mencle” terhadap ketentuan yang sudah diputuskan seperti masa jabatan presiden, pelaksanaan pemilu dan tahapan ketatanegaraan lainnya. Kepatuhan hukum wajib dilaksanakan dalam negara demokrasi. Sebab, demokrasi tanpa hukum bisa menjadi liar dan dimungkinkan menimbulkan anarki.
Supremasi hukum memang menghendaki ketegasan penindakan, tetapi bukan lantas menjadi tak terkendali karena adanya intervensi kekuasaan dan kewenangannya. Perlu filter yang disebut demokrasi. Sebab, hukum tanpa demokrasi menjadi zalim dan cenderung sewenang-wenang.
Di sinilah perlu pemimpin, elite politik yang mampu membangun rekonsiliasi, bukan sebatas koalisi. Pemimpin yang mempunyai hati nurani dan taat asas, bukan hanya menyangkut kepatuhan dan ketaatan seseorang terhadap sebuah ketentuan. Perilaku dan kepribadiannya, yang mencakup kata, perbuatan, serta pikiran dan perasaannya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari taat asas.
Jauhkan prasangka buruk, perasaan was- was, sumelang, khawatir berlebihan karena berbagai persoalan.
Pepatah mengatakan, “Sapa sing tatag lan teteg, bakal tutug” yang artinya barang siapa yang teguh pendirian, tidak goyah, dan kuat dalam pendirian serta tidak mudah terbelokkan oleh rayuan dan godaan, dia akan mencapai apa yang diidamkan.
Jika tidak? Boleh jadi goncangan makin liar dan besar. (Azisoko*)