JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Fenomena kabar bohong atau hoaks menjadi persoalan cukup serius.
Intensitas penyebarannya meningkat drastis seiring kemudahan penyebaran informasi melalui media sosial.
Karenanya masyarakat perlu memiliki daya berpikir kritis.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Program Literasi Digital mengupas soal keberadaan berita hoaks dengan mengadakan kegiatan Obral Obrol Literasi Digital (OOTD) dengan Tema 'Fact or Fake'.
Tema tersebut diangkat dalam rangka memperingati Internasional Fact Checking Day 2022.
Ketua Komite Fact-Checker Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Ariwibowo Sasmito menyorot ragam saluran media sosial yang di luar kapasitasnya mendadak menjadi pembuat berita.
"Jadi sekarang sudah kesulitan untuk membedakan siapa sih produsen (berita) siapa distributor, siapa konsumen. Karena semua menghasilkan (berita)" kritik Ariwibowo.
"Semua bisa jadi media dan semua bisa jadi sumber informasi sekaligus bisa mendistribusikan dan mengkonsumsinya," tambahnya.
Tak heran di era media sosial, biasanya informasi yang terlanjur salah justru pelakunya tidak bakal memberikan klarifikasi.
Ia mengumpamakan angka hoaks itu bisa disebarkan 10 ribu kali, tapi klarifikasinya hanya seribu.
"Jadi sampai sekarang hoaks dibanding klarifikasinya itu jauh lebih banyak menyebar," sesal Ariwibowo.
Ada sebuah studi menyebutkan, bahwa di Twitter itu hoaks menyebar enam kali lebih cepat dari klarifikasinya.
Studi lainnya mengungkap bahwa kebiasaan orang buka YouTube mencari sumber informasi sesuai seleranya.
Sebab pembentukan opini publik lebih didominasi faktor emosi dan keyakinan pribadi, bukan oleh fakta-fakta obyektif.
Maka itu masyarakat harus cermat dan mampu menyaring informasi secara kritis.
"Jadi lah pemeriksa fakta setidaknya untuk diri sendiri. Karena kemampuan berpikir kritis dan pemeriksa fakta semakin ke sini semakin penting," pesan Ariwibowo.
Narasumber lain dalam kegiatan tersebut, Redaktur Kantor Berita Politik Republik Merdeka Online (RMOL.ID) Angga Ulung Tranggana, menyatakan, produk pers dalam membuat kontennya tidak sama dengan media sosial.
Karena dalam konteks membuat berita itu mengacu pada kode etik jurnalistik.
"Dari setiap produk berita yang kita buat mengacu pada kode etik jurnalistik. Artinya kita sebagai seorang jurnalis tata kerjanya diikat oleh kode etik jurnalistik dan Undang Undang Pers," kata Angga.
Ia menyadari keberadaan media massa online cukup banyak berseliweran di media sosial.
Para pengguna media sosial kerap kali tidak melakulan pemeriksaan saat membaca suatu portal berita.
Padahal itu sangat penting untuk memastikan beritanya tidak hoaks.
"Ini (pemeriksaan) penting untuk memastikan bahwa informasi benar. Hoaks atau tidak. Dipastikan dulu medianya kredibel atau tidak. Terdaftar di dewan pers atau ngga," ujar Angga.
Ia mengemukakan, alasan hoaks marak beredar karena kemajuan teknologi dan minim literasi media.
Pesatnya perkembangan internet tanpa dibarengi dengan kecakapan dalam bersosial media dapat salah menerima informasi.
"Hari ini yang saya alami dan pahami, media sosial dan dunia nyata itu ada garis pemisah. Seolah kalau dunia nyata itu harus penuh dengan akhlak, tapi dunia maya sesuatu yang tidak bersekuensi," ucap Angga.
Untuk bisa mendapatkan Informasi mengenai Kegiatan Obral Obrol liTerasi Digital dan kegiatan lainnya, dapat dilihat di info.literasidigital.id atau follow media sosial @siberkreasi. (pandi)