POSKOTA.CO.ID - Pembangunan Ibu Kota Negara atau IKN dinilai tidak mendengarkan aspirasi masyarakat adat.
Penilaian ini datang dari tokoh adat sekaligus Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur Margaretha Seting Beraan.
“Menurut saya, semua perencanaan IKN sampai sekarang itu sebenarnya mau mudahnya saja. Mereka meniadakan masyarakat adat untuk memastikan bahwa urusan negosiasi melibatkan hanya orang-orang yang mudah, orang-orang yang tidak akan menolak, orang yang tidak akan kritis terhadap IKN ini,” ujar Margaretha Seting Beraan seperti dilansir dari VOA pada Senin (28/3/2022).
Dia merasa pembangunan IKN dikebut karena mengejar target masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Hal ini membuat langkah-langkah yang diambil tidak bijaksana sehingga mengabaikan masyarakat adat setempat.
Walau ada tokoh adat yang ditemui Presiden tetapi tidak jelas siapa dan perannya bagi komunitas adat selama ini menurut Margaretha Seting Beraan.
Seharusnya pelibatan sudah dilakukan sejak perencanaan sebelum titik lokasi IKN ditentukan.
Setidaknya masyarakat adat akan memiliki pilihan setuju atau tidak dengan pembangunan IKN di wilayah adat mereka.
Margaretha Seting Beraan menilai pemilihan lokasi IKN di atas tanah hak guna usaha (HGU) ingin meniadakan masyarakat adat.
“Pemilihan lokasi IKN di atas tanah HGU sendiri sudah merupakan pilihan yang menurut saya betul-betul ingin meniadakan masyarakat adat. Karena konflik antara pemilik HGU dengan masyarakat adat. Harusnya HGU sudah habis masa berlakunya dikembalikan ke masyarakat adat karena itu asalnya dari tanah masyarakat adat,” tambahnya.
Margaretha Seting Beraan menerangkan masyarakat adat yang tinggal di kawasan IKN disebut sebagai Paser. Nenek moyang mereka adalah suku Dayak. Mereka terbagi dalam sub suku, seperti Paser Balik yang mendiami wilayah di sekitar Sepaku, Balikpapan, hingga Samboja. Ada juga Paser Adang yang dikenal sebagai sub suku dengan persebaran paling tinggi.
Dia mengingatkan bahwa tanah di Penajam Paser Utara yang akan menjadi lokasi IKN sebenarnya adalah tanah komunal. Tanah itu dimiliki bersama-sama sebagai milik adat.
Pemerintah dalam sejarahnya dulu memberikan hak konsesi kepada sejumlah perusahaan yang kemudian menebang hutannya.
Potensi konflik ini membuat AMAN semakin yakin bahwa Indonesia sangat membutuhkan Undang-Undang Perlindungan Pengakuan Masyarakat Adat yang sampai saat ini tidak dibahas DPR. Negara harus melindungi tanah adat dan menjamin mereka menerima hak-haknya.
“Pemerintah perlu melakukan pengecekan ulang terhadap hak-hak masyarakat yang terduduki dengan kondisi IKN ini. Itu tanah komunal. Jadi tidak milik perseorangan. Tetapi milik sebuah komunitas,” pungkas Margaretha Seting Beraan. ***