ADVERTISEMENT

Ajukan 'Amicus Curiae' ke MA, KontraS Beberkan 7 Temuan Keganjilan Perkara Unlawful Killing Laskar FPI

Selasa, 29 Maret 2022 18:00 WIB

Share
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi M. Rezaldy mendatangi Makhamah Agung untuk menyerahkan 'Amicus Curiae' dalam perkara Unlawful Killing Laskar FPI. (ist)
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi M. Rezaldy mendatangi Makhamah Agung untuk menyerahkan 'Amicus Curiae' dalam perkara Unlawful Killing Laskar FPI. (ist)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengajukan 'Amicus Curiae' ke Makhamah Agung (MA) usai menemukan sejumlah temuan keganjilan dalam proses hukum terdakwa Unlawful Killing Laskar FPI.

KontraS menemukan sebanyak 7 keganjilan dari mulai kedua tersangka itu ditetapkan sebagai terdakwa hingga diadili dalam proses pengadilan.

"Pertama, sejak ditetapkan sebagai terdakwa hingga diadili melalui proses peradilan, para terdakwa tidak dilakukan upaya paksa berupa penahanan. Padahal aparat penegak hukum memiliki alasan yang kuat untuk melakukan penahanan kepada para terdakwa, baik secara syarat bukti, maupun syarat hukum yang mensyaratkan tersangka dapat dilakukan penahanan apabila ancaman pidana penjaranya 5 tahun atau lebih," kata Andi saat dihubungi Poskota.co.id, Selasa (29/3/2022).

Dia melanjutkan, dalam proses persidangan terungkap bahwa para terdakwa itu tidak menjalankan pekerjaan sesuain prosedur Kepolisian, yang di mana terdapat kelalaian dari para terdakwa ketika membawa keempat anggota Laskar FPI itu, sehingga berpotensi menimbulkan adanya gangguan keamanan.

"Dalam proses persidangan terungkap bahwa terdapat prosedur yang harus dijalankan oleh anggota kepolisian apabila membawa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Hal itu diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pemeliharaan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkabaharkam) Nomor 3 Tahun 2011 Tentang pengawalan," tuturnya.

"Pada intinya dalam peraturan tersebut diharuskan bagi anggota Polri untuk memeriksa terduga pelaku secara cermat dan memborgol kedua tangannya guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu melakukan pengawalan pada malam hari juga merupakan suatu larangan, kalaupun terpaksa terduga pelaku harus dibawa ke kantor kepolisian terdekat. Namun demikian, hal tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga berpotensi pada gangguan keamanan anggota Polri itu sendiri," sambung Andi.

Ia juga menyebut, bahwa dalam proses persidangan terdapat perbedaan keterangan terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

"Pada proses persidangan, Briptu FR menjelaskan bahwa ketika membawa keempat anggota Laskar FPI ke tempat tujuan, terjadi perebutan senjata api milik terdakwa dengan beberapa anggota Laskar FPI. Dalam perebutan senjata api tersebut, terdakwa mengaku senjata api tersebut telah direbut, namun dalam BAP justru menyatakan sebaliknya bahwa yang terjadi hanyalah berusaha direbut," papar dia.

Menurut Andi, perbedaan keterangan ini seharusnya tidak boleh terjadi. Sebab, hal ini penting dan akan bedampak pada sejauh mana tahapan penggunaan kekuatan yang dapat digunakan ketika menghadapi sebuah ancaman.

Dia menambahkan, sebelum terdakwa membawa keempat anggota Laskar FPI itu, diketahui para laskar itu mengalami dugaan tindak kekerasan.

Hal itu terungkap dari keterangan Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM di proses persidangan, yang menyatakan terdapat sejumlah kesaksian yang diperoleh Komnas HAM bahwa saksi-saksi tersebut melihat empat orang yang masih dalam kondisi hidup, mendapatkan perlakukan kekerasan, dengan cara dipukul, dan ditendang-tendang. 

"Kami berpendapat tindakan kekerasan yang diduga dialami oleh keempat anggota Laskar FPI tidak dapat dibenarkan secara hukum dan hak asasi manusia (HAM). Bahkan, bagi kami tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan pelanggaran HAM. Jika hal itu terjadi, tentunya aparat penegak hukum harus mengambil langkah-langkah hukum guna mengungkap peristiwa kekerasan tersebut," imbuhnya.

"Tidak hanya dugaan tindakan kekerasan, dalam persidangan tersebut juga terungkap bahwa sejumlah warga sekitar diduga mengalami intimidasi oleh aparat untuk tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus file rekaman atas peristiwa penangkapan yang terjadi," lanjutnya.

Karena hal tersebut, ia menduga, bahwa Kepolisian telah berupaya mengaburkan atau menghilangkan jejak atas upaya paksa yang diduga berlebihan terhadap sejumlah anggota Laskar FPI.

Selain itu, dia mengungkapkan, apabila dilihat dari berbagai luka tembak yang dialami oleh para korban.

Kesemuanya mengalami luka tembak pada titik yang mematikan.

"Kami berpendapat tidak lah masuk akal, dalam kondisi perebutan senjata api, luka tembak tepat pada titik yang mematikan. Selain itu, bukti berkaitan dengan keadaan perebutan senjata api oleh beberapa anggota laskar FPI terhadap terdakwa Briptu FR, juga tidak terungkap secara jelas dalam proses persidangan," ucap Andi.

"Harusnya aparat penegak hukum dapat membuktikan hal tersebut, misalnya dibuktikan dengan adanya  jejak sidik jari korban pada senjata api yang diperebutkan," pintanya.

Menurut Andi, dalam pertimbangan putusan, Majelis hakim berpendapat tindakan terdakwa dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

Dengan alasan harus mengambil sikap untuk lebih baik menembak terlebih dulu daripada tertembak, kemudian dengan melakukan tindakan tegas dan terukur.

"Kami berpendapat, jika dikaitkan antara kasus tersebut dengan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dan senjata api, tindakan yang dilakukan tidak lah dapat dibenarkan. Hal tersebut dikarenakan tindakan yang dilakukan tidak memenuhi prinsip nesesitas, proporsionalitas dan masuk akal. Jika memang benar telah terjadi upaya merebut senjata api milik Briptu FR, setidak-tidaknya dapat menggunakan kekuatan lain untuk menghentikan tindakan perebutan senjata api tersebut," terang dia.

"Kalaupun penggunaan senjata api tersebut diperlukan, penembakan yang dilakukan sudah semestinya ditujukan pada titik yang melumpuhkan bukan pada titik yang mematikan atau jika memang saat itu sedang dalam kondisi yang begitu krusial sedapat mungkin untuk meminimalisir kerusakan atau luka, akibat penggunaan kekuatan yang digunakan," tukas Andi.

"Dituntutnya terdakwa dengan 6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum dan kemudian diputus lepas (Onslag Van Recht Vervolging) oleh Majelis hakim dengan adanya alasan pembenar dan pemaaf dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas.

"Jika didasari pada temuan dan keganjilan yang ada maka tuntutan yang ringan oleh Jaksa dan Putusan lepas dari Majelis Hakim tidak lah mengherankan," ujarnya.

Terkait apa yang terjadi dalam perkara itu, kata dia, KontraS berpendapat telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus ini, yaitu dalam bentuk Unlawful Killing atau tindakan pembunuhan di luar hukum.

"Tindakan ini jelas melanggar HAM karena melanggar hak atas hidup seseorang," katanya.

"Kami berharap dengan mengajukan 'Amicus Curiae' yang kami ajukan itu dapat dipertimbangkan dan Majelis hakim Kasasi yang memeriksa dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya kepada korban dan keluarga korban, bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh JPU," tutur Andi.

"Kami khawatir dengan adanya putusan tersebut, jika terus dibiarkan maka dapat menjadi legitimasi bagi anggota Polri untuk melakukan tindakan Unlawful Killing di kemudian hari," tandasnya. (adam)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT