UKRAINA, POSKOTA.CO.ID - Jumlah korban sipil terus meningkat dan lebih banyak warga Ukraina melarikan diri dalam ketakutan ke negara-negara tetangga.
Peristiwa ini terjadi di tengah PBB dan badan-badan bantuan internasional menyerukan diakhirinya secara damai permusuhan di Ukraina.
Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang mengumpulkan data meyakini jumlah korban yang sebenarnya jauh lebih besar daripada yang tercatat.
Ini membuat Kepala Badan HAM PBB Michelle Bachelet mengulangi seruannya untuk mengakhiri konflik dengan cepat dan secara damai. Konflik itu dinilai telah memicu krisis kemanusiaan.
Juru Bicaranya Liz Throssell mengatakan tidak mungkin memverifikasi kasus kematian dan warga sipil yang cedera di banyak bagian Ukraina karena konflik yang sedang berlangsung.
Liz Throssell mengatakan sebagian besar korban adalah akibat serangan udara dan senjata peledak yang digunakan pasukan Rusia.
Dia menambahkan beberapa roket dan artileri berat yang digunakan di banyak kota telah merusak dan menghancurkan ratusan bangunan tempat tinggal.
Dilansir dari VOA pada Selasa (8/3/2022), Badan Pengungsi PBB menyatakan lebih dari dua juta warga telah meninggalkan Ukraina ke negara-negara tetangga. Seperti Polandia, Moldova, Rumania, Hongaria, Slovakia, dan negara-negara Eropa lainnya.
Namun Juru Bicara Komite Internasional Palang Merah Ewan Watson mengungkapkan ratusan ribu orang yang terperangkap di kota pelabuhan Mariupol tidak dapat melarikan diri.
“Kami siap untuk bertindak sebagai peran perantara yang netral guna memfasilitasi perjalanan yang aman bagi warga sipil keluar dari kota itu. Tetapi kenyataan hari ini adalah situasi tersebut benar-benar apokaliptik. Hal ini semakin memburuk. Mereka kehabisan persediaan kebutuhan pokok,” kata Ewan Watson.
Proposal Rusia untuk menciptakan koridor kemanusiaan agar memungkinkan orang-orang meninggalkan Mariupol dengan aman menjadi gagal usai perjanjian gencatan senjata tidak dihormati.
Prioritas yang dibutuhkan termasuk tempat penampungan darurat, perawatan kesehatan, makanan, air dan sanitasi, serta dukungan psikososial untuk menangani apa yang mereka sebut epidemi trauma dan kesedihan. Demikian badan-badan bantuan mengatakan.***