RUSIA, POSKOTA.CO.ID – Selain menerima sanksi-sanksi, sejumlah perusahaan besar secara bersamaan juga menarik diri dari Rusia sejak invasinya ke Ukraina.
Dari Shell, Exxon, Boeing dan Airbus, hingga Apple, Disney, TikTok, McDonald's, Starbucks, dan sejumlah merek terkenal lainnya berhenti beroperasi di Rusia atau membuat rencana untuk menghentikan operasi bisnis mereka.
Adapun invasi Rusia ke Ukraina telah berlangsung selama 13 hari terhitung sejak perintah invasi Presiden Rusia Vladimir Putin pada Kamis, 24 Februari 2022.
Bahkan perusahaan konsultan global McKinsey, yang tidak menghindari klien kontroversial termasuk Arab Saudi dan pembuat Oxycodone, Purdue Pharma, mengatakan akhir pekan lalu akan memutuskan hubungan dengan pemerintah Rusia dan entitas milik negara.
Pernyataan McKinsey mengikuti langkah serupa oleh pesaing, termasuk Boston Consulting Group dan Accenture PLC.
DJ Wolff, mitra di firma hukum AS Crowell & Moring yang berspesialisasi dalam kepatuhan sanksi, mengatakan perusahaan-perusahaan besar berhenti beroprasi di Rusia didorong karena jumlah sanksi maupun perusahaan yang mundur dari Rusia semakin banyak.
“Saya pikir kekuatan dalam jumlah penting karena Anda tidak melihat ada perusahaan yang mundur pada hari pertama,” katanya dikutip dari Al Jazeera pada Rabu (9/3/2022).
“Ada komentar publik tentang hal itu, ada kekhawatiran tentang hal itu, tetapi tidak ada semacam pengumuman 'Kami keluar dari Rusia.' Anda telah melihat gelombang besar yang konsisten secara global setiap hari, karena semakin banyak orang berada di belakang 'Kami menentang invasi,' yang telah membuat secara politis lebih mudah bagi perusahaan untuk melangkah dan berkata, 'Kami mundur.' Kata DJ Wolff.
Eksodus korporasi yang meluas saat ini sangat kontras dengan bagaimana korporasi global menanggapi krisis baru-baru ini yang melibatkan pemerintah kontroversial. Contohnya dari kudeta di Myanmar dan Thailand hingga perang saudara di Suriah.
Reaksi tersebut juga jauh lebih kuat daripada tanggapan perusahaan terhadap laporan genosida dan kerja paksa di provinsi Xinjiang, Cina. Peristiwa tersebut adalah terakhir kali perusahaan menjauhkan diri dari sebuah negara dalam jumlah besar, melihat beberapa perusahaan Barat memutuskan hubungan dengan industri kapas Cina.
Itu mungkin karena kekerasan tidak hanya terjadi secara langsung di media sosial tetapi juga di depan pintu Eropa dan kantor pusat banyak perusahaan besar. Para analis beranggapan ini dapat dengan mudah membangkitkan kenangan akan Perang Dunia II dan Perang Dingin.
“Krisis Xinjiang terjadi di lingkungan media yang sangat dikontrol dengan ketat di mana informasi tentang tingkat pelanggaran – dan gambar sebenarnya dari pelanggaran – sangat sulit didapat,” Kata Cullen Hendrix, seorang profesor di Josef Korbel School of International Studies di Universitas Denver, dikutip dari Al Jazeera.
Ia menjelaskan perbedaan bahwa pada kasus di Cina, publik tidak melihat secara jelas informasi mengenai terjadinya kekerasan. Namun, hal berbeda terjadi pada invasi Rusia ke Ukraina dimana penampakan dampak perang tersebar luas.
“Kami tidak melihat gambar artileri Cina yang menembaki sasaran sipil atau sejumlah besar wanita dan anak-anak yang berjuang untuk melintasi perbatasan dengan Mongolia atau Kazakhstan. Kami hanya melihatnya di Ukraina. Dan itulah yang memaksa tindakan. Demikian pula, Krimea terbentang di depan mata kami dan di layar kami tetapi merupakan aneksasi yang hampir tidak berdarah dengan sedikit korban,” kata Cullen Hendrix.
Hendrix menjelaskan ada juga alasan yang dapat dipertimbangkan, seperti ukuran dan pentingnya ekonomi China, yang sekitar sepuluh kali lebih besar dari Rusia.
Adapun saat ini beberapa perusahaan besar telah berhenti beroprasi di Rusia untuk sementara. Beberapa perusahaan besar juga merencanakan untuk melakukan tindakan yang sama. (Firas)