TIGA Ketum partai politik koalisi pemerintah, yaitu Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar), dan Zulkifli Hasan (PAN), telah mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda. Alasan penundaan Pemilu 2024 memang beragam.
Pertama, situasi perekonomian negara sedang sulit, utang menggunung, berapa biaya Pemilu hingga kini belum dianggarkan. Sumbernya juga belum jelas dari mana.
Kedua, pandemi Covid-19 sedang merebak dan belum dapat diprediksi kapan akan berakhir. Ramai-ramai kampanye dan pencoblosan bisa membuat makin banyak rakyat yang terpapar.
Ketiga, hasil beberapa lembaga survei menyebutkan bahwa rakyat puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Bahkan, ada yang meminta agar jabatan Presiden diperpanjang hingga tiga periode.
Sementara Jokowi sendiri dalam berbagai kesempatan menyatakan, tidak punya niat untuk menjabat 3 periode. Karena itu menyalahi konstitusi UUD 45. Pun Jokowi juga menolak perpanjangan masa jabatan Presiden.
Masalah Pemilu berkaitan langsung dengan konstitusi, sebagaimana diatur dalam UUD 45. Pelaksanaan Pemilu diatur dalam UUD Pasal 1 ayat 2. Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.
Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya. Jadi, jika Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukumnya sama sekali. Sehingga, kekuasaan mereka semua adalah ilegal alias tidak sah.
Jika para penyelenggara negara itu semuanya ilegal, maka tidak ada kewajiban apapun bagi rakyat untuk mematuhinya. Rakyat berhak untuk membangkang. Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat. Dalam kondisi ini, penundaan Pemilu akan menyebabkan keadaan bangsa dan negara benar-benar carut marut. Bahkan, bisa menimbulkan anarki. Hanya TNI dan Polri yang kekuasaannya masih legal. Dalam banyak kasus, dalam situasi negara seperti ini, bisa saja Presiden dikudeta.
Mengutip pernyataan ahli hukum tata negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra, hanya ada tiga cara yang dapat dilakukan penundaan Pemilu 2024. Pertama, Amandemen UUD 45. Kedua, Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner. Ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dapat diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
Dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu 2024 adalah amandemen terhadap UUD 45. Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45 dan Pasal 24 sampai Pasal 32 UU Nomor 17 Tahun 2014. Masalahnya, apakah semua anggota MPR-DPR sepakat untuk mengamandemen UUD 45? Apakah waktunya masih mencukupi?
Jalan kedua adalah Presiden mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu. Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, menciptakan hukum yang sah. Sebaliknya, revolusi yang gagal akan dianggap sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.