Dalam konteks ini, apa yang disampaikan Bung Karno tentang pentingnya cita-cita bangsa untuk ikut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial telah melahirkan pandangan geopolitik khas Indonesia.
Pandangan geopolitik ini digerakkan oleh nilai kemanusiaan dan internasionalisme; memperjuangkan ko-eksistensi damai; suatu dunia yang lebih berkeadilan dan dunia yang bebas dari imperialisme dan kolonialisme.
Pandangan geopolitik Indonesia berdasarkan Pancasila tersebut nyata-nyata berbeda dengan geopolitik Barat yang ekspansionis.
Dengan pandangan geopolitik ini, Bung Karno menggelorakan pentingnya solidaritas bangsa-bangsa Asia Afrika melalui pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955, yang kemudian mendorong lahirnya Gerakan Non Blok (GNB) pada tahun 1961 yang menunjukkan kuatnya kepemimpinan Indonesia bagi dunia.
Dalam kepemimpinan itu, legitimasi Indonesia pun meningkat pesat, yang menjadi senjata ampuh bagi upaya pembebasan Irian Barat.
Tidak hanya itu, kuatnya kepemimpinan Indonesia melalui KAA dan GNB telah memuluskan pengakuan internasional atas Deklarasi Djuanda pada tahun 1957 yang menyatukan seluruh wilayah kepulauan menjadi satu kesatuan, dan hasilnya, wilayah Indonesia naik 2.5 kali lipat tanpa melalui perang.
Selain itu, demi kepentingan pembebasan Irian Barat, angkatan perang Indonesia pada saat itu dikenal sebagai angkatan perang terkuat di belahan bumi selatan.
Sangat membanggakan. Ketika konflik akibat perang Dingin 1.0 mampu mendorong kepemimpinan Indonesia bagi dunia, bagaimana dengan realitas kekinian?
Substansinya tetap sama, bahwa di tengah pertarungan hegemoni dunia saat ini, Indonesia harus mengambil prakarsa melalui berbagai bentuk keterlibatan aktif Indonesia atas berbagai persoalan dunia.
Upaya ini diimbangi dengan peningkatan kemampuan diplomasi tingkat tinggi, yang memadukan diplomasi luar negeri dan pertahanan, guna menjadikan Indonesia sebagai pelopor dan jembatan perdamaian.
Upaya ini memerlukan adanya grand strategy yang dirancang oleh suatu think tank yang bersifat strategis, langsung di bawah komando Presiden, guna merancang kebijakan yang mengintegrasikan antara kebijakan luar negeri dan pertahanan sebagai jawaban Indonesia atas berbagai persoalan dunia tersebut.
Di sinilah leadership, seni berdiplomasi, dan kemampuan untuk bergerak out of the box sangat diperlukan.