Terjadi dialog seorang kakek dengan cucunya mengenai beda pendapat, sore kemarin. Ini berawal dari pertanyaan sang cucu kepada kakeknya sebagai berikut:
Cucu: Boleh nggak sih kita beda pendapat dengan teman – teman?
Kakek: Yah boleh – boleh saja. Beda pendapat tidak dilarang. Yang penting jangan karena beda pendapat lantas bermusuhan.
Cucu: Tapi, kok sampai ada yang dilaporkan ke polisi?
Kakek: Yang dilaporkan bukan beda pendapatnya, tetapi isi pendapatnya, apa yang telah disampaikan
Cucu: Tetapi kenapa sampai dilaporkan kek, bukankah kita diminta untuk menghargai perbedaan?
Kakek: Nah, kalau soal sampai dilaporkan, itu masalah lain. Itu pun menjadi hak seseorang atau sekelompok orang untuk melaporkan. Sebaiknya kita tidak ikut masuk ke persoalan itu.
Cucu: Okelah kalau begitu
Kakek: Tetapi kalau soal kita perlu menghargai adanya perbedaan, kakek sangat setuju.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, keberagaman merupakan keniscayaan.
Perbedaan sebuah kenyataan yang tak bisa dipertentangkan, sebab, manusia dilahirkan sudah dalam perbedaan, si kembar pun terdapat perbedaan meski secara fisik sangat mirip, tetapi terdapat perbedaan, apalagi yang non fisik.
Ini sebuah petunjuk perlunya kita menghargai perbedaan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentu perbedaan tidak sebatas menyangkut antarpribadi di kelompok tersebut, tetapi antarkelompok satu dengan yang lain.
Sebelum negeri ini merdeka, para pejuang sudah terbiasa hidup dengan perbedaan.
Tetapi bukan mempermasalahkan perbedaan, melainkan sangat menghargai adanya perbedaan.
Dan, karena penghargaan terhadap perbedaan inilah lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika NKRI harga mati, haruskah kita kemudian mempertentangkan terus menerus soal perbedaan.
Patut diingat, beda pendapat bukan berarti berseberangan ataupun berlawanan.
Seseorang yang berbeda pendapat bukanlah musuh, tetapi partner demi menuju kebaikan bersama.
Lingkup yang lebih luas lagi, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Belakangan kita menyaksikan perbedaan pendapat begitu mengental, utamanya di media sosial dengan kemasan bahasa yang langsung, tak sedikit begitu vulgar, tidak basa – basi.
Kadang mencuat perseteruan begitu tajam di media sosial.
Patut menjadi renungan bersama juga, mengingat belakangan acap mencuat ego kelompok yang berakibat kepada munculnya embrio perbedaan.
Semakin transparan, jika kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga tak jarang menimbulkan ketersinggungan dan gesekan.
Awalnya beda pendapat, yang terjadi kemudian, tak jarang saling melapor karena dinilai sudah masuk kepada ujaran kebencian, dan intoleransi.
Lihat juga video “Bupati Zaki Tinjau Banjir di Pakuhaji dan Kosambi”. (youtube/poskota tv)
Disinilah kembali dituntut kesadaran untuk saling menghargai guna meredam dan menyingkirkan perbedaan.
Dapat diyakini, dengan kesadaran yang tinggi, apa pun bentuk perbedaan akan dapat disatukan oleh sikap toleransi dan saling menghargai.
Bukankah “Cara terbaik untuk tetap hidup dalam kedamaian adalah saling memahami, menghargai, bukan membenci perbedaan,” kata BJ Habibie, dalam kata mutiaranya. (jokles)