Pertanyaan lebih lanjut, apa korelasi antara sistem presidensial, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dengan syarat-syarat pencalonan? Dalam konteks ini harus diingat bahwa suasana kebatinan ketika reformasi dijalankan, rakyat Indonesia menginginkan agar presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Konstruksi yang dipakai sangat berkaitan dengan pentingnya basis legitimasi dan legalitas kepemimpinan nasional, yakni dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Pemilihan secara langsung ini membawa konsekuensi lebih lanjut tentang kepastian masa jabatan presiden dan wakil presiden terpilih selama 5 tahun, fixed term.
Guna memastikan ketentuan ini, maka konstitusi dan undang-undang mengatur kedudukan presiden yang kuat karena dukungan langsung dari rakyat. Implikasinya, presiden tidak mudah untuk dijatuhkan, kecuali melanggar undang-undang. Ketentuan ini pun harus melalui proses impeachment yang tidak mudah.

Ilustrasi. (arif)
Meskipun kedudukan presiden kuat karena dipilih langsung, namun dalam prakteknya, presiden tetap memerlukan dukungan dari parlemen, mengingat DPR RI memegang fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dalam hubungan dengan DPR RI inilah efektivitas dan stabilitas politik ini memerlukan syarat dukungan minimum dari parlemen dengan apa yang disebut sebagai presidential threshold.
Presidential threshold merupakan ambang batas minimum yang masuk dalam yurisdiksi hukum poisitif yang ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Dengan ketentuan ini, maka presiden agar dapat menjalankan pemerintahannya, undang-undang telah menetapkan syarat minimum sebesar 20% dari jumlah kursi di DPR, atau sekurang-kurangnya 25% dari jumlah suara atau gabungan suara dari partai politik yang mengusungnya.
Ketentuan ini juga berakar dari Undang-undang dasar, dimana dalam hal presiden dan wakil presiden berhalangan tetap secara bersamaan, maka pelaksana tugas kepresidenan adalah menteri luar negeri, menteri dalam negeri dan menteri pertahanan secara bersama-sama. Baru setelah paling lama tigapuluh hari setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik yang mana pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya. Ketentuan ini adalah hukum dasar yang berfungsi sebagai threshold.
Di dalam praktik, ketentuan 20% kursi di parlemen atau 25% suaratidaklah cukup bagi efektivitas pemerintahan. Hal ini dialami oleh Presiden Jokowi pada tahun 2014. Saat itu, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla mendapatkan basis dukungan sangat kuat dari rakyat. Namun mengingat jumlah kursi partai politik pendukungnya hanya sedikit di atas 20%, maka dalam pemilihan Pimpinan DPR RI dan pimpinan seluruh alat kelengkapan DPR, pemerintah berhadapan dengan kekuatan mayoritas partai yangbukan pengusung pasangan Jokowi-JK.
Gabungan Parpol dengan kekuatan mayoritas di DPR tersebut sebagian besar kalah dalam pemilu Presiden tahun 2014. Akibatnya, kekuatan parlemen menyandera kekuasaan pemerintahan yang berasal dari rakyat, yang hanya mengandalkan dukungan sebanyak 20%. Peristiwa politik di DPR RI saat itu menunjukkan bahwa apa yang disuarakan oleh rakyat dalam pilpres 2014 tidak senafas, dan bukan sebagai one electoral process dengan apa yang terjadi di DPR. Akibatnya, pemerintahan Jokowi-JK memerlukan waktu sekitar 1,5 tahun hanya untuk melakukan konsolidasi kekuasaan politik di DPR.
Apa yang menjadi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut mengatur kehidupan bersama tentang bagaimana presiden dan wapres dipilih, dan bagaimana pemerintahan dapat berjalan dengan memastikan efektivitas dan stabilitas politik bagi jalannya pemerintahan negara.
Mengatakan bahwa presidential threshold sebagai bentuk kudeta terselubung terhadap negara demokrasi sebagaimana disampaikan oleh Gatot Nurmantyo sangatlah berbahaya.
Lebih lanjut Gatot Nurmatyo di dalam keterangannya di persidangab Mahkamah Konstitusi secara daring pada tanggal 26 Januari 2022 menegaskan bahwa PT 20% sebagai bentuk partaikrasi melalui rekayasa undang-undang juga tidak benar, dan bahkan suatu kesalahan besar. Dari pengalaman di TNI/ POLRI sendiri, seorang anggota TNI/POLRI yang bercita-cita menjadi jenderal, tentu melalui suatu tahapan aturan, melalui jenjang kepangkatan. Keseluruhan aturan jenjang kepangkatan itu sama substansinya dengan mekanisme threshold.
Seorang Kepala Staf tidak mungkin dari seorang prajurit yang mendadak menjadi kepala staf, ataupun misalnya seorang mayor yang tiba-tiba menuntut menjadi jenderal dengan mengatakan bahwa Sekolah Pimpinan dan Komando merupakan bentuk rekayasa peraturan, dan kemudian dikatakan sebagai kudeta terselubung yang menghalang-halangi hak prajurit untuk bias melompat pangkat menjadi jenderal. Demikian halnya seorang yang mau masuk perguruan tinggi ternama, tentu ada syarat-syarat nilai tertentu, kualifikasi tertentu, dan hal itu bukan rekayasa peraturan.
Karena itulah bicara tata pemerintahan negara, setiap warga negara wajib dan tunduk sepenuhnya pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Agar partai politik bisa mencalonkan calon presiden dan wakil presiden, syaratnya harus bekerja keras ke bawah, menggalang dukungan rakyat dengan kerja politik yang membumi sehingga mendapatkan suara baik dari partai sendiri ataupun gabungan partai sehingga memenuhi ketentuan undang-undang. Hal ini sangat simple dan sudah dipraktekkan selama ini.