Sifat serakah, selain tak sesuai dengan moral bangsa Indonesia. Tak selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Serakah juga dapat memicu lahirnya perilaku korupsi. - Harmoko
BUMN menjadi “bancakan” bukan sebuah sindiran, tetapi stigma yang sudah melekat dalam benak masyarakat. Stigma itu terbangun bukan tanpa alasan, pertama banyak yang merugi, ditambah lagi munculnya sejumlah kasus korupsi yang terjadi pada perusahaan pelat merah ini.
Terdapat 159 BUMN yang tersandung kasus korupsi dengan 53 pejabatnya sebagai tersangka seperti dikatakan Menteri BUMN, Erick Thohir dalam beberapa kesempatan.
Kita masih ingat, tahun 2017 misalnya terkuak kasus korupsi yang cukup menghebohkan terjadi di dua BUMN papan atas, yakni Garuda Indonesia dan PT PAL, yang diduga merugikan puluhan miliar rupiah. Dalam kedua kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi ini, melibatkan mantan dirutnya karena dugaan menerima suap.
Dalam kasus Garuda terkait pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia, sedangkan di PT PAL terkait proyek pengadaan 2 kapal perang untuk pemerintah Filipina.
Jika merujuk ke belakang, kasus suap dalam pengadaan barang dan jasa merupakan yang terbanyak ditangani KPK sejak 2004 hingga 2021. Dari 1.194 kasus, penyuapan sebanyak 775 kasus.
Dugaan adanya korupsi di Garuda belakangan ini kembali mencuat setelah Menteri BUMN, awal bulan ini menyambangi Kejaksaan Agung guna menyerahkan data tambahan terkait dugaan korupsi mengenai penyewaan pesawat jenis ATR 72-600. Berapa jumlahnya? Masih didalami.
Akhir September tahun lalu, juga dilaporkan dugaan korupsi di PTPN III ( Persero), PT Krakatau Steel dan PT Perindo. Dugaan muncul karena membengkaknya utang ketiga BUMN tersebut.
Terungkap ada tidaknya kerugian negara, berapa besarnya, dapat diketahui dari hasil penyidikan KPK maupun Kejaksaan Agung yang hingga kini masih berlangsung.
Sebelumnya terungkap juga korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri yang merugikan negara puluhan triliun rupiah, sehingga negara terpaksa mengucurkan dana puluhan triliun juga guna menyehatkan perusahaan tersebut agar mampu membayar kewajibannya kepada polis, yang tidak lain masyarakat luas. Ini dilakukan untuk memenuhi kewajibannya sebagai perusahaan negara yang memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat, selain fungsi bisnis.
Kian terungkapnya membengkaknya utang sejumlah BUMN, yang kemungkinan di dalamnya ada korupsi seperti diduga Menteri Erick Thohir, menjadi keprihatinan kita bersama, yang semakin mendukung stigma bahwa BUMN menjadi “bancakan” oknum tertentu, boleh jadi sekelompok orang bermain di belakangnya.
Efisiensi BUMN yang dilakukan dengan memangkas 142 perusahaan menjadi 107 perusahaan sebagai langkah penyederhanaan, penyehatan perusahaan dengan memperkecil risiko kerugian, termasuk di dalamnya korupsi.
Memang efisiensi menjadi satu solusi menyehatkan perusahaan, tetapi bukan satu-satunya jalan, makin menyehatkan mental karyawan dengan gerakan antikorupsi, hendaknya terus diaplikasikan sebagai bagian dari revolusi mental.
Semua orang tahu tingkat kesejahteraan pegawai BUMN cukup memadai, sehingga menjadi incaran para pencari kerja. Nah, kalau gajinya sudah tinggi, tetapi masih juga korupsi, berarti ini soal perilaku, soal mental.
Ini tak ubahnya sifat serakah yang tak sesuai dengan moral bangsa Indonesia, tak selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila seperti sering dikatakan Pak Harmoko lewat kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Di era pandemi sekarang ini, hendaknya kita “memperkaya hati”, bukan memperkaya harta benda melalui jalan pintas, korupsi.
Bersifat kaya hati mencitrakan seseorang yang berhati mulia, yang selalu mensyukuri apa yang didapat, apalagi sebagai pegawai BUMN, apa yang didapat sudah lebih dari mencukupi. Mestinya dijawab dengan bekerja lebih berkualitas sehingga BUMN semakin dapat memenuhi kewajiban sosialnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Saya meyakini hal ini dapat dilakukan karena yang korupsi hanya segelintir oknum, hanya nol koma sekian persen dari total karyawan BUMN.
Karena itu, singkirkan sifat miskin hati yang mengindikasikan seseorang hidupnya selalu kurang dan kurang, tidak merasa puas apa yang telah didapatkan. Akibatnya berbagai jalan ditempuh, menerima suap, gratifikasi dan korupsi.
Dalam filosofi Jawa dikatakan "nrimo ing pandum" – menerima apa adanya. Menerima apa yang sudah menjadi ketentuan Sang Pencipta. Dan, ingat pula, kemewahan tak ada yang abadi, sebagaimana hidup di dunia ini yang diibaratkan "mung mampir ngombe"- cukup singkat - hanya sebentar. Sekadar "numpang minum" belaka. Mari tebar kebaikan dengan berbagi,bukan korupsi. (azisoko *)