Diduga Mengalami Kerugian Akibat Rumah Disita, Faridawati Akan Mengadu ke DPR dan BPN Pusat

Rabu 26 Jan 2022, 18:27 WIB
Faridawati dan M.Reza Putra, SH, MH, Ketua Umum YLBH Pusbakum Satria Advokasi Wicaksana. (ist)

Faridawati dan M.Reza Putra, SH, MH, Ketua Umum YLBH Pusbakum Satria Advokasi Wicaksana. (ist)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Untuk mendapatkan keadilan akan nasib rumah dan lahannya yang disita sepihak oleh bank di Sumatera Barat, Faridawati akan mengadu ke sejumlah instansi terkait, seperti ke DPR dan BPN Pusat.

Farida mengaku sangat terdzolimi atas kasus ini.

Menurutnya, apa yang dialaminya diduga keras ada semacam persekongkolan dari sejumlah pihak yang memang sejak lama mengincar rumah berikut pekarangan rumahnya yang memang sangat strategis.

Kisah mengenaskan ini ini bermula dari dari perjanjian kredit antara Faridawati dengan salah satu bank milik pemerintah di cabang Bukittinggi yang kemudian berujung masalah.

Bank tersebut merasa bahwa Faridawati telah melakukan wanprestasi dalam melunasi sisa pinjaman kreditnya.

Padahal kata Faridawati, pada pertengahan Maret 2019 anak laki-lakinya, Bob Trifano telah mendatangi pimpinan bank untuk bernegosiasi karena perjanjian kredit harus diperbarui pada bulan April 2019, yaitu satu bulan ke depan.

Perempuan, kelahiran 30 Oktober 1959 di Bukittinggi, Sumatera Barat ini mengaku merasa dibohongi hingga rumah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Bukittinggi, Sumatera Barat, pada Kamis (4/11/2021) lalu.

"Tujuan dari negosiasi adalah, karena kami tidak ingin melanjutkan lagi perjanjian kredit, tetapi hanya akan mengangsur pokok pinjaman setiap bulan sampai terjualnya aset nasabah (Faridawati) yang pada saat itu sedang berlangsung proses penjualan," tambah Faridawati.

Rupanya negosiasi antara Faridawati dengan pihak bank tidak berjalan mulus, hingga hanya ada dua pilihan, yaitu perjanjian kredit tetap dilanjutkan dan membayar lunas piutang sebesar Rp2,9 miliar.

"Jadi belum ada kata sepakat, dan sejak bulan Mei 2019 tidak ada pembayaran karena tidak diizinkan untuk mengangsur pokok sampai bulan Januari 2020. Nah, pada tanggal 14 Februari 2020, Kepala bagian Kredit (AR) mendatangi saya selaku nasabah dan memberitahukan bahwa sudah boleh mengangsur Pokok Pinjaman minimal sebsar Rp1 miliar," lanjut Faridawati.

Akhirnya sebagai nasabah, Faridawati menyanggupi untuk mengangsur pokok pinjaman sebesar Rp140 juta. Tetapi, ketika Faridawati menyetorkan angsuran pokok sebesar Rp140 juta ke Kepala Bagian Kredit (AR) tidak ingin memberikan tanda terima resmi dari bank yang katanya belum ada dalam sistem.

Setelah didesak, akhirnya Kepala Bagian Kredit (AR) memberikan surat yang menyatakan bahwa Faridawati telah mengangsur pokok pinjaman sebesar Rp140 juta dan meminta agar Faridawati menambah setoran hingga Rp1 miliar, sebelum tanggal 28 Februari 2020 dan melunasi piutangnya paling lama tanggal 28 Desember 2020.

“Tetapi di bulan Februari 2020 telah berlangsung COVID-19 (pertama) , dan resmi dari pemerintah. Dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) resmi dari pemerintah dimulai awal bulan Maret 2020. Lalu awal Oktober 2020 terjual salah satu aset.Lalu kami ke Bank Cabang Bukittinggi untuk melakukan pembayaran pinjaman kami sebesar Rp1,7 miliar ternyata kredit kamu sudah lunas dan rumah yang menjadi agunan sudah terjual melalui lelang pada bulan Juli 2020, bahkan sudah dibalik nama tanpa sepengetahun kami,” cerita Faridawati.

Meski perkara Faridawati saat itu masih dalam proses pengadilan karena tengah melakukan upaya banding, tampaknya eksekusi menjadi jalan terakhir bagi penyelesaian kasus tersebut.

Meski rumah dan lahan Faridawati telah dieksekusi, bukan berarti ia berdiam pasrah menerima keputusan tersebut, bahkan sebaliknya kini Faridawati, Eviarons (suami) dan Bob Trivano (anak) telah menunjuk Didi Cahyadi Ningrat & Rekan untuk mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada bank pemerintah tersebut, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), Kota Bukittinggi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Agam.

Alasan gugatan tersebut dilayangkan karena telah menimbulkan kerugian yang menghilangkan hak para pengugat atas objek perkara a quo dimana perbuatan para tergugat.

Bahwa Pengugat I dan II adalah merupakan pasangan suami dan istri dan sekaligus Pemilik atas Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 66 M2 atas nama Faridawati dengan Surat Ukur Nomor 165/1992 Tanggal 10 Maret 1992 selua 2.830 yang terletak di Jorong Aro Kandikir, Kanagarian Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumbar.

Bahwa Penguggat I dan II juga merupakan nasabah dari Tergugat I sejak tahun 1982 sampai 2016 yang secara bertahap melakukan transaksi kredit dengan Tergugat I sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan usahanya;

Bahwa dalam proses kredit yang sedang berjalan, pada tahun 2008 petugas Tergugat I datang menemui Pengugat I dan II agar kiranya dapat menukar Srtifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor: 183 atas nama H. Eviarons, Surat Ukur : 107/Tarok Dipo/2005 Tanggal 12 Juli 2005, Luas 39 M2 yang terletak di Kelurahan Tarok Dipo, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi yang merupakan jaminan kredit Penggugat I dan II karena telah habis masa berlakunya dan harus dilakukan proses perpanjangan.

Bahwa kemudian Pengugat I dan II menyerahkan 3 (tiga) buah Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Pengugat I dan II yang mana nilai objek tersebut secara materil melebihi 2x (dua kali) lipat dari nilai pinjaman/liquiditas kredit kepada tergugat I, namun semua itu ditolak oleh Tergugat I dengan alasan yang tidak logis dan jelas aturannya, serta tetap meminta agar dapat menyerahkan pengganti jaminan kredit tersebut tetap adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 66 atas nama Faridawati dengan Surtat Ukur Nomor: 165/1992 Tanggal 10 Maret 1992 seluas 2.830 M2 yang terlateka di Jorong Aro Kandikir, Kenagarian Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.

“Demi keadilan, gugatan tersebut sudah sepantasnya dilayangkan karena telah menimbulkan kerugian terhadap hak Penggugat.Selain itu, penggugat adalah  nasabah yang terus menerus melakukan transaksi kredit dengan pihak Tergugat I sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan usahanya.Apa pun bentuknya, eksekusi dan lelang tersebut menyisakan masalah dan itu harus diluruskan demi keadilan. Dan wajar bila kemudian banyak pihak yang menuding proses lelang dan eksekusi tersebut  sarat kejanggalan," ucap Pegiat Kebijakan Publik dan Praktisi Hukum, Dr. Amril Winarjaguna P, SH, MH, Rabu (12/1/2022).

“Bila upaya hukum sedang dilakukan dan prosesnya masih berjalan di pengadilan memang sudah selaiknya tidak diperbolehkan adanya tindakan hukum lain, sebelum adanya putusan tetap,“ jelas M. Reza Putra, SH, MH, CIL, Praktisi Hukum dan Pegiat HAM yang juga Ketua Umum YLBH Pusbakum Satria Advokasi Wicaksana (SAW).

Reza menambahkan, meski pengadilan berhak memutuskan, dan menilai suatu perkara namun pada hakekatnya harus berpedoman kepada kebenaran dan keadilan yang didasari bukti-bukti dan fakta-fakta yang ada, bukan sebaliknya.

"Kami berharap, ke depannya kasus seperti ini tidak terulang lagi di wilayah lain, karena selain merugikan debitur juga akan menimbulkan rasa kurang percaya masyarakat terhadap bank, terutama yang berurusan dengan kredit. Karena kasus-kasus seperti ini bila dibiarkan akan merugikan wibawa hukum dan penegak hukum di masyarakat, yaitu akan kehilangan kepercayaan,” pungkas Reza. (*/mia)

Berita Terkait

News Update