KITA patut mengapresiasi langkah pemerintah mengendalikan harga minyak goreng. Lewat kebijakan satu harga minyak goreng Rp 14.000 per liter.
Meski terlambat, tetapi harga yang melambung sejak November tahun lalu, kembali menuju normal di gerai ritel modern seperti minimarket yang ditunjuk.
Sementara di beberapa toko, pasar tradisional, harga masih di atas normal.
Ini terjadi karena pasar tradisional belum menjadi program kemasan minyak goreng satu harga sehingga harga masih variatif di atas Rp14.000 per liter. Rata - rata masih dibanderol Rp18.000 per liter.
Dengan kata lain, pasar tradisional belum menjadi target operasi pasar minyak goreng. Kini, saatnya mengguyur minyak goreng ke pasar tradisional, setelah sukses menekan harga di ritel modern.
Ini yang perlu pemantauan ekstra, mengingat pasar tradisional beda dengan ritel modern seperti minimarket, supermarket dan pasar swalayan.
Yang pasti pengendalian harga melalui penyediaan minyak goreng kemasan satu harga Rp14.000 per liter di pasar – pasar tradisional, pasar kaget, pasar pinggir jalan, pasar lingkungan, sangat ditunggu masyarakat.
Ritel modern tersebar luas dan merata di kota –kota besar. Hingga hampir di setiap gang, jalan – jalan raya terdapat ritel modern seperti Alfamart, Indomaret. Masyarakat kota dengan mudah dapat mengakses ritel modern, karena letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Lain halnya di pedesaan untuk menuju ke ritel modern, butuh waktu karena jaraknya cukup jauh.
Boleh jadi stok minyak goreng yang diharapkan dengan harga Rp14.000 sudah kosong, begitu sampai di lokasi tujuan.
Rakyat sudah cukup lama terimbas kenaikan harga minyak goreng, juga beberapa kebutuhan pokok lainnya seperti telur ayam ras, gula pasir hingga cabai merah. Setidaknya sejak bulan November harga beberapa kebutuhan pokok sudah merambah naik, puncaknya jelang akhir tahun 2021 hingga kini masih terjadi kenaikan.
Mengguyur minyak goreng langsung ke konsumen menjadi kebutuhan mendesak, jika tidak ingin menambah derita rakyat akibat imbas kenaikan harga sembako.
Gempuran operasi pasar hendaknya tidak dilakukan untuk mengendalikan harga yang terjadi saat ini, tetapi hingga dua bulan ke depan, jelang Puasa. Ini untuk memastikan bahwa ketersediaan sembako cukup melimpah dengan harga murah.
Menciptakan ketenangan patut menjadi prioritas guna mencegah panic buying yang lazimnya terjadi menjelang bulan Puasa.
Kita tahu, panic buying menggeliat begitu ketersediaan sembako menipis, sementara permintaan melonjak, ditambah lagi harga mulai merangkak.
Dan, secara psikologis, kepanikan di satu tempat akan segera menyebar ke tempat lain, meski di tempat lain stok barang dimaksud sangat melimpah, tetapi karena sudah terlanjur dihantui rasa cemas maka aksi borong berlebihan terjadi juga, hingga merata ke semua wilayah.
Situasi bertambah rumit, jika dibumbui isu hilangnya stok, keterlambatan distribusi akibat cuaca dan kenaikan harga akibat ulah spekulan .
Perlu antisipasi sejak awal guna mencegah panic buying. Yang dilakukan cukup sederhana, asal ada komitmen semua pihak yang terkait, mulai dari hulu hingga hilir.
Di antaranya memperkuat stok secara merata di semua wilayah, utamanya komoditas pangan yang banyak dibutuhkan jelang Puasa dan Lebaran seperti gula pasir, tepung terigu, telur, minyak goreng, tak terkecuali beras, susu dan daging. Kelancaran dan pemerataan distribusi terjaga, tidak telat, meski cuaca buruk.
Semoga (Jokles)