Ilustrasi rudal.(ist)

Opini

Perang Dunia Ketiga dan Perang Saudara

Senin 17 Jan 2022, 12:55 WIB

TANGGAL  6 Januari 2021 dunia sedang menjalani pandemi Covid-19, namun hari itu ada kejadian naas menimpa demokrasi Amerika Serikat.

Negara yang dikenal paling mapan dalam berdemokrasi seketika sejajar kualitasnya dengan negara yang mereka sering cela dengan istilah republik pisang.

Pada hari itu dunia, dan Amerika Serikat itu sendiri tentunya, dikejutkan dengan serangan pendukung capres inkumben yang kalah pada Pilpres Desember 2020 ke Capitol Hill kantor pusat Parlemen Amerika Serikat.

Cita-cita dari para penyerang itu adalah merubah hasil Pilpres sebulan sebelum yang mereka yakini hasilnya dicurangi. Kombinasi Covid-19 dan prahara 6 Januari adalah bayang-bayang kelam akan apa yang dapat terjadi dimasa mendatang dunia ini.

Pertama penulis ini bercerita mengenai mengapa stabilitas Amerika Serikat penting bagi dunia. Alasannya bisa dilihat dari sisi ekonomi.

Dollar Amerika Serikat (USD) adalah cadangan mata uang dunia dengan bobot komposisi sebesar sekitar 60% terhadap mata uang lainnya. Banyak ekonom percaya bahwa apabila ekonomi Amerika Serikat “batuk” mengakibatkan ekonomi Indonesia (dan mungkin negara lainnya) “panas dingin”.

Seorang ahli ilmu Perang Saudara bernama Barbara F. Walters menggambarkan situasi politik dalam negeri Amerika Serikat menggunakan metode tolok ukur bernama Polity Index Score.

Setelah mempelajari negara-negara dunia yang melalui perang saudara, Barbara Walters melihat kampung halamannya sendiri sedang memasuki fase menuju perang saudara yang sama.

Masyarakatnya terbelah dalam dua kubu ekstrem dimana sisi kiri ada kelompok Antifa dan sisi kanan ada kelompok Proud Boys, milisi Three Percenters dan pendukung QAnon.

Masing-masing merasa sebagai solusi bagi Amerika Serikat, dan masing-masing siap berjibaku secara fisik demi mengaplikasikan solusi mereka.

Melalui Polity Index Score (skor +10 sampai +6 dianggap negara Demokrasi, +5 sampai -5 sebagai negara Anokrasi, dan -6 sampai -10 sebagai negara Autokrasi) Barbara Walters berargumentasi bahwa bila negara menyentuh skor antara +1 sampai -1 artinya perang saudara barang pasti terjadi.

Kecenderungan negara direntang skor tersebut masyarakat punya hak memilih di Pemilu namun masyarakatnya hidup dibawah tekanan pemimpin autokratif.

Amerika Serikat jelas adalah negara yang memberikan hak Pemilu bagi rakyatnya secara demokratis dengan baik, dan negara tersebut secara langsung menjamin rakyatnya hidup bebas tanpa tekanan.

Namun demikian ditingkat grassroot bukan begitu realitanya di-era pandemi ini. Penulis akan kembali lagi ke isu ini setelah menggambarkan imbas pandemi global terhadap Amerika Serikat.
 
Pendiri dan pemimpin World Economic Forum (WEF) bernama Klaus Schwab mengatakan bahwa pandemi Covid-19 ini tidak akan berujung pada kembalinya kita ke kehidupan yang biasa kita kenal.

Klaus Schwab melalui bukunya berjudul Covid-19: The Great Reset berkata bahwa jutaan perusahaan akan menghilang, banyak industri akan menghadapi masa depan yang tidak pasti serta bahaya dan instabilitas sosial, politik dan geopolitik akan terjadi.

Pandemi ini telah menggeser ketertiban dunia demi supervisi dan keseragaman global dalam penanganan Covid-19 dimasing-masing negara dunia dari awalnya kemutlakan kedaualatan negara menjadi beberapa aspek kehidupan ada dibawah komando WHO.

Disamping itu, atas nama protokol kesehatan negara-negara produsen produk dunia sering menghadapi penutupan pabrik akibat kasus positif pada pekerjanya.

Logistik rantai pasok global juga sering terganggu akibat berkurangnya daya beli dan minat beli negara-negara maju yang terimbas oleh Covid-19, serta karena akibat prokes di pelabuhan yang ketat.

Hal ini di bulan Desember 2021sempat mengakibatkan antrian panjang di laut Pasifik Utara dari arah Asia Timur ke arah Pantai Barat Amerika Serikat.

Sampai sekarang pemandangan rak toko dan supermarket kosong adalah hal yang sering terjadi di Amerika Serikat. Kelangkaan barang di Amerika Serikat semakin mendorong inflasi menjadi sangat tinggi di negara tersebut.

Pandemi ini telah banyak mematikan UMKM dunia, banyak juga perusahaan menengah dan besar melakukan pengurangan pegawai akibat dari pendapatan perusahaan yang tergerus akibat dari pandemi, belum lagi mereka yang bangkrut.

Helikopter ekonomi yang dijalankan oleh seluruh negara-negara dunia (pembagian bansos dari APBN) praktis tidak banyak bisa membantu menjaga fundamental perekonomian negara, walhasil pendapatan pajak terpaksa dikejar demi menjaga APBN agar roda ekonomi negara terus berputar.

Bila kembali berbicara mengenai Polity Index Score, secara tidak langsung negara-negara demokrasi bergerak menjadi negara Anokrasi akibat dari imbas pandemi.

Rakyat memang tetap memiliki hak Pemilu, namun himpitan ekonomi ditingkat grassroot terasa bagaikan hidup di negara Autokrasi (meskipun prokes ketat ini juga bersama-sama dijalankan oleh seluruh negara dunia).

Untuk negara-negara seperti Amerika Serikat yang masyarakatnya terbelah oleh dua kubu ekstrem, reposisi negara-negara ini dari Demokrasi menjadi Anokrasi adalah bagaikan api di dalam sekam.

Kemampuan masing-masing pemimpin negara dalam menjaga stabilitas sosial, politik, keamanan dan ekonomi dalam negeri adalah keharusan demi menghindari terjadinya Perang Saudara.
 
Diisu energi, Amerika Serikat sangat berkomitmen pada inisiatif global dalam isu Climate Change. Suatu semangat demi menjaga pemanasan dunia dari penggunaan bahan bakar fosil dan meninggalkan teknologi yang bersumbangsih pada efek rumah kaca yang melukai ozon serta menghasilkan polusi dunia.

Namun kesepakatan tua antara Saudi Arabia dan Amerika Serikat dimasa lalu yang menyetujui USD sebagai alat tukar terhadap Minyak Bumi dunia menjadi hantu masa depan USD apabila Amerika Serikat memutuskan menjauh dari Migas.

Tidak cukup sampai disitu, potret makroekonomi Amerika Serikat sendiri menunjukkan imbal hasil T-Bills mereka berada di posisi negatif secara riil.

Sosial, politik, keamanan dan ekonomi domestik Amerika Serikat yang sedang berada di ujung tanduk yang dapat menggiring ekonomi dan keamanan seluruh dunia berada dikehancuran dengan diperparah oleh petualangan geopolitik Amerika Serikat di Laut China Selatan serta di Eropa Timur.

Koalisi AUKUS dibantu oleh beberapa negara-negara Persemakuran Inggris Raya menantang RRC dalam pengaruh di kawasan tersebut.

Negara yang sedang dipertaruhkan oleh Amerika Serikat melalui koalisi tersebut adalah Taiwan, negara produsen mikrochip nomor satu dunia, yang menurut RRC negara Taiwan adalah bagian dari Satu China.

Menurut Amerika Serikat secara pertahanan Taiwan harus didukung oleh Amerika Serikat (walau tidak pernah mengatakan secara kemerdekaan dari RRC harus didukung).

Isu Uyghur juga menjadi tambahan alasan bagi Amerika Serikat untuk melancarkan tekanannya terhadap RRC. Amerika Serikat mengancam akan mempermalukan China dengan boikot Olimpiade Musim Dingin China 2022 karena hal-hal tadi.

Di Eropa Timur, Amerika Serikat bersama NATO mendukung Ukraina dan Georgia menjadi anggota. Isu ini di mata Rusia adalah pernyataan permusuhan secara fisik, karena apabila Ukraina dan/atau Georgia menjadi anggota NATO maka misil-misil seluruh anggota NATO berhak ditaruh kedua negara tersebut di dekat perbatasan dengan Rusia dan mengarah ke kota-kota negara Rusia.

Berlarut-larutnya negosiasi antara Rusia dan NATO dapat berimbas pada krisis energi di Eropa Barat karena Rusia adalah negara produsen Gas terbesar untuk Eropa Barat. Sejauh ini, juga akibat dari pandemi, harga energi di Eropa Barat telah mengalami inflasi.

Menantang Rusia dan China yang mutlak berada di posisi 2 dan 3 sesudah Amerika Serikat pada Global Fire Power Index 2021 serta sama-sama memiliki persenjataan nuklir dan alutsista yang modern adalah tindakan gegabah berikut dari Amerika Serikat setelah masalah sosial, politik, keamanan dan ekonomi domestiknya yang sedang rapuh.

Bukannya bersama-sama menyelesaikan masalah krisis inflasi global baik disisi barang maupun energi akibat dari pandemi dan merubah fundamental USD yang selama ini mengacu terhadap Migas serta merangkul masyarakat domestiknya yang terbelah, Presiden Joe Biden memutuskan untuk menciptakan Perang Dingin jilid 2 terhadap Rusia dan China.

Dunia semenjak itu mengalami perlombaan baru di dunia persenjataan perang yaitu pasukan perang siber, misil Hipersonik dan Kecerdasan Buatan (AI).

Khusus untuk isu perlombaan pengembangan AI, Presiden Rusia Vladimir Putin pernah menyatakan bahwa negara yang paling mapan dalam pengembangan AI akan menjadi penguasa dunia, namun bahaya dari pengembangan AI ini adalah belum adanya standard etika dari pengembangan AI serta belum adanya regulator global yang melakukan supervisi dari produk ini.

Kemampuan AI yang sekarang telah melampaui kecerdasan manusia adalah ancaman serius bagi keamanan dunia, terutama dalam sisi Machine Learning. Strategi militernya kemungkinan sudah jauh di atas kecerdasan ahli perang manapun di dunia.

Ancaman perang saudara di dalam negeri Amerika Serikat serta perang dunia ketiga akan menggiring dunia yang tidak ikut dikubu perang dunia ketiga menjadi ikut terseret akibat sektor ekonomi yang hancur, karena memang pada dasarnya era abad 21 adalah era interkoneksi dan interdipendensi.

Satu hancur maka hancur semua. Sektor keuangan, Ekspor-Impor, Internet of Things (IoT), dan sebagainya saling berketergantungan satu sama lainnya. (Fulano Indono) 

Tags:
perangPerang DuniaPerang Dunia Ketigaperang saudara

Administrator

Reporter

Administrator

Editor