JELANG akhir tahun 2021, harga sejumlah bahan pokok (bapok) seperti minyak goreng, cabai, telur dan daging ayam melambung. Kondisi ini membuat kalangan ibu rumahtangga harus menguras otak. Uang belanja makin bertambah.
Ditengah masyarakat masih kerepotan menghadapi lonjakan harga bahan pokok. Pemerintah malah memberi ‘kado pahit’ tahun baru. Menaikkan harga jual gas elpiji non subsidi. Tak hanya itu, tarif listrik non subsidi (adjustment) segera diberlakukan kembali.
Kebijakan ini tentu semakin memberatkan beban rakyat kecil. Selama pandemi, ekonomi mereka sudah terhimpit. Bahkan semakin terjepit dengan naiknya harga bahan pokok dan biaya energi.
Kita memahami kebijakan pemerintah untuk menutupi kebutuhan APBN 2022 yang diperkirakan masih defisit ratusan triliun rupiah. Untuk menutupi kebutuhan defisit anggaran ini memang tak mudah. Terlebih pandemi Covid-19 masih berlangsung.
Pemerintah tentu kesulitan mencari pinjaman luar negeri. Banyak negara pemberi utang menahan diri.
Mereka melakukan emergency country agar ekonomi negaranya tidak terkoyaknya, terkait masih berlangsungnya pandemi. Para investor juga tak sedikit yang bersikap wait and see.
Sehingga salah satu cara mengoptimalkan potensi penerimaan dalam negeri, di antaranya menggenjot pajak serta penerimaan lainnya seperti menaikkan beragam tarif.
Kebijakan pemerintah ini terkesan tak mau pusing. Hanya mengambil jalan mudah. Pada akhirnya masyarakat juga yang terbebani.
Kita sependapat apa yang disampaikan anggota Komisi IX DPR, Kurniasih Mufidayati, Minggu (2/1). Menurutnya, sekecil apapun kenaikan harga akan memberatkan beban masyarakat. Pemerintah seharusnya mampu meredam gejolak harga bahan pokok (bapok) dengan melakukan intervensi, operasi pasar atau langkah lainnya.
Apalagi kenaikan UMP hanya puluhan ribu rupiah. Kenaikan upah tersebut itu dibenturkan dengan kenaikan bahan pokok dan energi hingga masyarakat menjadi korban.
Selain intervensi untuk meredam gejolak harga bahan pokok, kita juga berharap pemerintah melakukan langkah lebih maksimal lagi untuk menutup defisit anggaran.
Seperti memangkas pos anggaran yang tak perlu, termasuk mengoptimalkan anggaran pemda yang mengendap di perbankan yang jumlah lebih dari ratusan triliun rupiah, mengenjot ekspor dan menyita aset para koruptor semaksimal mungkin.
Dengan cara ini setidaknya bisa mempersempit defisit anggaran. Jangan selalu mengorbankan masyarakat. Apalagi pandemi masih berlangsung. Pemerintah justru mendongkrak ekonomi masyarakat agar pembangunan terus berkelanjutan. Bukan memberi kado pahit. Tahun Baru, harga baru. ***