Kopi Pagi

Lomba Pencitraan

Senin 27 Des 2021, 06:30 WIB

“Pencitraan yang dikemas dengan kepalsuan, akan melahirkan popularitas semu” – Harmoko

DALAM dunia politik, pencitraan bukanlah hal yang baru dan tabu. Pencitraan merupakan fakta kehidupan yang tidak mungkin dihilangkan, bahkan senantiasa diciptakan.

Para elite politik, petinggi partai, tokoh masyarakat, bahkan pejabat negara pun sah–sah saja mengemas pencitraan untuk mendongkrak popularitas menaikkan elektabilitas.

Beragam pencitraan dilakukan dalam setiap momen dan kesempatan. Sudah terasa aromanya sejak tahun lalu, seiring dengan pandemi yang menerpa negeri kita ini dengan melakukan aksi peduli sosial.

Kemenangan atlet–atlet kita di Olimpiade Tokyo yang digelar di tengah pandemi tahun lalu, tak terlewatkan dari pencitraan para elite politik yang mengucapkan Selamat dan Sukses lewat sejumlah  media, di antaranya pemasangan poster dan baliho. Tak sedikit, terpampang gambar atletnya kalah besar dengan yang memberi ucapan selamat.

Pada awal Agustus tahun ini, seolah perang baliho juga terlihat di sejumlah daerah. Terpampang gambar para pimpinan parpol menyebar sampai pelosok nusantara.

Tidak sampai di situ, erupsi gunung Semeru menggerakkan hati para politisi melakukan aksi peduli. Selain memberikan bantuan dengan membawa nama parpol dan tokoh parpol, rasa simpati dan peduli kepada korban bencana juga dituangkan lewat puisi dalam baliho yang dipasang di tepi jalan menuju tempat pengungsian.

Wajar saja menarik simpati dengan membangun empati. Masing– masing parpol dan elite politik memiliki cara tersendiri mengemas citra diri, memoles popularitas untuk mendongkrak elektabilitas.

Menjadi tugas partai dan seluruh jajarannya mengerek popularitas kadernya yang digadang–gadang hendak diusung sebagai calon presiden. Meski pemilihan presiden (pilpres) masih tiga tahun lagi, tetapi pencitraan , branding,  image, promosi diri bagi kadernya harus dipersiapkan sejak dini.

Personal branding (citra diri) harus dilakukan secara terus menerus untuk menarik simpati publik. Tidak cukup satu tahun, dua tahun atau tiga tahun. Dan, tak kalah pentingnya adalah keunggulan personal yang hendak di branding.

Itulah sebabnya mengemas popularitas harus diimbangi dengan peningkatan kualitas. Membangun citra diri harus diikuti dengan kualitas diri. Begitupun dalam mengemas popularitas sebagai investasi politik tahun 2024, tanpa didukung kualitas, boleh jadi elektabilitas akan stagnan.

Menjadi bahan renungan, adakah yang salah, jika beragam pencitraan telah  dilakukan secara masif, popularitas pun sudah menembus batas, tetapi elektabilitas tetap terhempas.

Pencitraan memang bebas dilakukan dengan cara apa saja, di mana saja, kapan saja dan dalam situasi apa saja, termasuk pada lingkungan masyarakat yang sedang membutuhkan perhatian karena terkena musibah. Meski begitu hendaknya tidak melampaui batas kewajaran, dengan tetap menjunjung tinggi etika dan moral seperti sering dipesankan Pak Harmoko dalam ulasannya pada kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Pencitraan hendaknya dilakukan secara transparan, proporsional, apa adanya, apa yang dicitrakan sesuai dengan kenyataan. Tidak juga bias, tidak melebih –lebihkan untuk menutupi kekurangan, apalagi sampai memanipulasi diri sendiri.

Ingat! Pencitraan yang dikemas dengan kepalsuan, lebih–lebih di luar batas kewajaran yang diwarnai sikap arogan, yang tak sesuai etika budaya kita, akan melahirkan popularitas semu. Boleh jadi bukan simpati yang didapat, tetapi antipati.

Memoles citra diri untuk menarik simpati publik menyongsong pilpres, memang penting. Tetapi, lebih penting lagi melakukan aksi nyata di tengah masyarakat yang sedang terhimpit kebutuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Hidup itu bukan sebatas memoles citra diri, peduli terhadap diri sendiri, juga peduli terhadap lingkungan sekitar sebagaimana amanah falsafah bangsa kita, Pancasila, yang tercermin melalui sikap bergotong royong, saling tolong menolong.

Hendaknya  “Urip iku urup”. Pitutur luhur yang diajarkan Sunan Kalijaga memiliki makna : Urip = hidup, urup = menyala, artinya hidup itu harus dapat menerangi alam sekitar. Hidup akan lebih berarti, jika tak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi memberi nilai tambah, mampu memberi banyak manfaat kepada orang lain, lingkungan sekitar. (Azisoko*)

Tags:
pencitraan bukanlah hal yang baru dan tabuPencitraan merupakan fakta kehidupanyang tidak mungkin dihilangkanbahkan senantiasa diciptakan

Administrator

Reporter

Administrator

Editor