AS, POSKOTA.CO.ID - Kampanye udara militer AS di Asia Barat telah ditandai dengan kecacatan intelijen yang mendalam dan merenggut nyawa ribuan warga sipil. Hal ini tertuang dalam dokumen-dokumen Pentagon yang baru diperoleh.
Kumpulan dokumen rahasia itu mencakup lebih dari 1.300 laporan tentang korban warga sipil menurut laporan, seri pertama dari dua bagian, yang diterbitkan New York Times. Demikian dilansir dari Pars Today (19/12/2021).
Ini melemahkan klaim Washington tentang serangan udara dengan drone yang serba nampak, serangan presisi, dan bom pintar.
Media itu mengatakan pasukan AS melakukan lebih dari 50 ribu serangan udara di Afghanistan, Irak, dan Suriah selama periode lima tahun.
Dalam menyusun laporannya, media itu itu mengatakan wartawannya telah mengunjungi lebih dari 100 lokasi korban dan mewawancarai sejumlah penduduk yang masih hidup dan pejabat Amerika saat ini dan mantan pejabat.
Sementara beberapa kasus yang disebutkan sebelumnya telah dilaporkan. Disebutkan penyelidikannya menunjukkan bahwa jumlah kematian warga sipil kurang diperhitungkan.
Di antara tiga kasus yang dikutip adalah pemboman 19 Juli 2016 terhadap kubu yang diklaim sebagai kelompok teroris ISIS di Suriah utara. Laporan awal menuduh bahwa 85 gerilyawan tewas dalam serangan itu. Sebaliknya, korban tewas adalah 120 petani dan penduduk desa lainnya.
Contoh lain adalah serangan November 2015 di kota Ramadi Irak tengah, sekitar 110 kilometer barat ibukota Baghdad, setelah seorang pria terlihat menyeret objek berat tak diketahui. Sebuah tinjauan atas objek itu ditemukan adalah seorang anak yang tewas dalam serangan udara.
Laporan itu menambahkan bahwa rekaman pemantauan yang buruk atau tidak memadai sering kali berkontribusi pada kegagalan penargetan yang mematikan.
Sebelum melancarkan serangan udara, militer AS harus menavigasi protokol yang rumit untuk memperkirakan dan meminimalkan kematian warga sipil.
“Dalam laporan investigasi, sasaran dan pakar senjata menggambarkan perhitungan yang akhirnya membawa malapetaka yang diambil untuk memenangkan persetujuan atas serangan itu,” sebut media itu.
Misalnya ketika kerumunan orang yang bergegas ke lokasi serangan bom mungkin disalahartikan sebagai militan bukan sekelompok orang yang mencari selamat.
Kadang-kadang sepeda motor yang bergerak dalam formasi dianggap sebagai tanda serangan yang akan segera terjadi padahal mereka hanyalah para pengendara sepeda motor.
Media itu menambahkan bahwa janji transparansi dan akuntabilitas secara teratur tidak terpenuhi.
“Tidak ada satu pun catatan yang diberikan termasuk temuan kesalahan atau tindakan disipliner,” lapor media itu. ***