Ketuhanan dalam makna di atas telah menjadi kultur bangsa. Sungguh sangat aneh ketika di alam merdeka ini, ketegangan sosial terjadi hanya karena pendirian rumah ibadat. Demikian halnya, ketegangan terjadi ketika klaim atas nama agama, dihadapkan pada ”perbedaan tafsir ” atas tradisi kultural yang sudah hidup puluhan abad di bumi nusantara.
Tradisi slametan, atau pun tradisi sesajen di laut dan di gunung-gunung misalnya, di beberapa daerah seperti Bantul, Yogyakarta, sempat diwarnai insiden oleh kelompok ekstrim kanan yang mengatasnamakan agama.

Ilustrasi. (arif)
Padahal keseluruhan tradisi nusantara tersebut berakar dari keyakinan betapa pentingnya menjaga keseimbangan alam raya. Sebab nilai spiritualitas yang hidup, selalu menyediakan ”proses komunikasi” antara manusia dan alam, alam dan manusia. Di dalam proses tersebut, terungkap rahasia terdalam bahwa segala sesuatu merupakan ciptaan Tuhan.
Tuhan hadir dalam diri manusia. Dalam setiap hembusan nafas kehidupan, semua menyatu. Di sinilah makna sebenarnya Manunggaling Kawula Gusti dirasakan.
Dalam pemaknaan Manunggaling Kawula Gusti tersebut, keseluruhan relasi antar sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta terkandung suatu dialog spiritual tentang pentingnya relasi vertikal, namun pada saat bersamaan disertai tanggung jawab horisontal.
Secara horisontal, terkait dengan cara dan prosesi ritual keagamaan/kepercayaan boleh jadi berbeda. Namun esensi pokok secara vertikal menempatkan relasi dengan Tuhan disertai tanggung jawab untuk menjadikan ”di atas bumi seperti di dalam surga”.
Esensi ini dirasakan dengan hadirnya kebaikan dalam relasi sesama manusia. Hubungan vertikal yang bersifat transendental mengandung keyakinan Tan Hana Dharma Mangrwa, dan secara horisontal manusia bertanggung jawab dalam menebar kebaikan. Sekiranya makna kebijaksanaan dari sesanti tersebut dipahami, maka berbagai perbedaan seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan.
Pentingnya keseimbangan relasi vertikal dan horisontal tersebut juga nampak di dalam salah satu lambang Nahdatul Ulama yang berupa dua simpul ikatan vertikal dan horisontal di bagian bawah bola dunia.
Tan Hana Dharma Mangrwa juga hidup di dalam ranah kebudayaan. Kebudayaan mengandung cipta, rasa, dan karsa. Kebudayaan itulah cermin bagaimana peradaban suatu bangsa terbentuk sebagai proses dialektik. Proses dialektik tidak hanya terjadi akibat beragamnya kebudayaan yang lahir dari tradisi negara kepulauan.
Proses dialektik juga terjadi dalam sentuhan dengan kebudayaan luar akibat posisi geopolitik Nusantara yang berada di jalur persilangan perdagangan dunia. Semua unsur kebudayaan tersebut saling berdialektika, bersintesa, dan membentuk kultur kebudayaan nusantara yang penuh dengan nilai-nilai spiritualitas, pranata kehidupan sosial, ekspresi rasa cinta pada ibu-bumi dan bapak-angkasa, serta seluruh isi jagad raya.
Dalam seluruh esensi kebudayaan tersebut, kesemuanya berlomba menampilkan keindahan, juga narasi kebaikan. Justru melalui kebudayaan, ditampilkan bahwa keindahan itu terjadi dalam perbedaaan, dalam aneka warna ekspresi budaya, serta dalam gerak seirama meski unsur-unsurnya begitu beragam.
Dalam kebudayaan itulah esensi kebaikan diajarkan guna melawan berbagai bentuk kejahatan sebagaimana terdapat dalam cerita wayang Bima Suci.
Dalam cerita Bima Suci, Bima ditugaskan untuk mencari Banyu Perwita Sari, suatu air kehidupan untuk keselamatan dan kehidupan kekal. Tugas dari Pandita Durna tersebut penuh tipu muslihat dan dirancang untuk melenyapkan Bima, Satria penopang kekuatan Pandawa.