KALANGAN buruh menilai pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berkolaborasi memastikan politik upah murah diterapkan di seluruh daerah.
Sebelumnya Kementerian Ketenagakerjaan sebelumnya mengungkap kenaikan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) pada 2022 sebesar 1,09 persen.
Kebijakan pemerintah tersebut kini memicu aksi unjuk rasa buruh di hampir seluruh tanah air, yang menolak rencana penetapan upah minimum 2022 menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021.
Aksi buruh cukup besar dilakukan di depan Gedung Kementerian Ketenagakerjaan pada Jumat (19/11/2021), oleh Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak).
Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengungkapkan, kaum buruh dipaksa menerima upah minimum yang tidak sebanding dengan kenaikan harga komoditas pangan, sewa rumah, biaya pendidikan, serta biaya kebutuhan hidup lainnya selama pandemi.
Dengan formula baru, upah minimum DKI Jakarta hanya berubah 0,85% atau Rp 37.749.
Sementara Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami perubahan upah minimum tahun depan dengan angka kenaikan tertinggi seIndonesia, namun hanya sebesar Rp 75.673 atau 4,04%.
Lebih ironis lagi di beberapa daerah seperti Bekasi, Karawang, dan Subang tidak mengalami kenaikan Upah Minimum sama sekali di 2022.
Benarkah pemerintah berniat menyengsarakan buruh? Pemerintah melalui Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos), Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, menegaskan bahwa Upah Minimum (UM) hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
Bagi pekerja/buruh dengan masa kerja di atas 1 tahun, maka pengupahan yang berlaku menggunakan struktur dan skala upah.
Jika ada perusahaan pelanggar, akan dipidana dengan kurungan penjara maksimal 4 tahun, dan terancam denda sekurangkurangnya Rp100 juta dan setinggi-tingginya adalah Rp400 juta.
Sementara Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, mengatakan bahwa kondisi saat ini Upah Minimum (UM) di Indonesia terlalu tinggi jika dibandingkan dengan nilai produktivitas tenaga kerja.
Di Indonesia, juga terlalu banyak hari libur dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Dibandingkan Thailand yang jam kerja mencapai 42 s.d 44 jam, di Indonesia hanya 40 jam.
Selain itu di Indonesia ada 20 hari libur/tahun, belum ditambah dengan beragam cuti. Sedangkan di Thailand tidak lebih 15 hari libur.
Jika melihat data tersebut memang tak bisa dipungkiri jika produktivitas kerja kita masih rendah dan kalah dari Thailand yang poinnya 30,9 sedangkan Indonesia hanya 23,9.
Tapi apakah kebijakan tersebut adil buat buruh? Penulis berharap, masih ada celah untuk merevisi kebijakan upah nasional ini.
Mungkin bisa dicari win-win solution, agar gejolak aksi buruh tidak berkepanjangan yang dampaknya bisa mengganggu stabilitas perekonomian nasional dan merugikan banyak orang.
Sebaiknya pemerintah memberi wewenang daerah untuk menentukan sendiri besaran kenaikan upah, berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah setempat. (*)