Politik Pertahanan

Sabtu 20 Nov 2021, 06:00 WIB

Oleh: Hasto Kristiyanto

KEPUTUSAN Presiden Jokowi untuk melantik Panglima TNI Jendral TNI Andika Perkasa, dan KASAD Jendral TNI Dudung Abdurachman pada hari Rabu, 17 November 2021 menggugah kesadaran tentang pentingnya membangun kekuatan pertahanan Indonesia.

Dalam keseluruhan suasana kebatinan yang ada, terutama pada saat pengambilan sumpah jabatan, dan penempatan tanda pangkat jabatan, nampak kesungguhan Presiden Jokowi agar pejabat yang baru dilantik tersebut benar-benar berani memikul tanggung jawab yang besar bagi bangsa dan negara.

ilustrasi

Panglima TNI dan seluruh kepala staf dari tiga matra TNI, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Darat beserta seluruh jajaran TNI harus memahami politik pertahanan negara.

 

Politik pertahanan menempatkan keselamatan bangsa dan negara di atas segalanya.

Di dalamnya terkandung substansi menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan kemampuan bangsa di dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman yang semakin kompleks.

Ancaman secara konvensional bisa berwujud ancaman militer, agresi, pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, terorisme dll.

Bisa juga ancaman non militer seperti ancaman berdimensi ideologi, ekonomi, teknologi,  atau bisa juga perpaduan antara ancaman militer dan non militer yang terjadi sekaligus, disebut sebagai ancaman hibrida.

Dalam perspektif yang lebih filosofis, pertahanan negara ditujukan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Politik pertahanan ini dalam implementasinya menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan utama sistem pertahanan Indonesia.

Namun elemen dasarnya berakar pada hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia dalam pertahanan negara.

Sebab pada awalnya adalah rakyat, yang melalui kesadarannya, menyatakan dirinya sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia ini kemudian berjuang memeroleh kemerdekaan dan berdirilah negara Indonesia.

Negara untuk mampu menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayahnya membentuk TNI. Perspektif historis antara rakyat, bangsa, negara, dan TNI itulah yang harus benar-benar dipahami dan dimaknakan relevansinya dalam situasi kekinian agar ke depan tidak ada lagi yang memersoalkan jati diri TNI yang berasal dari rakyat.

Dengan melihat bentangan wilayah Indonesia yang begitu luas, dari Sabang Sampai Merauke, dan dari Mianggas hingga ke Rote, tentu saja mengandung kerentanan geografis.

Dalam perspektif keamanan, wilayah kepulauan yang begitu luas juga mengandung potensi ancaman yang begitu besar.

Karena itulah guna membangun pentingnya wawasan nusantara, Bung Karno mendalilkan bahwa kesatuan wilayah NKRI tersebut dinyatakan sebagai satu kesatuan ideologi berdasarkan Pancasila; satu kesatuan cita-cita, satu national entity, dan satu social consiousness of man.

Kesadaran yang terakhir ini menempatkan pentingnya kemerdekaan Indonesia bagi dunia yang bebas dari berbagai belenggu penjajahan.

Dunia yang bebas dari penjajahan inilah yang menjadi prasyarat bagi terwujudnya persaudaraan dunia.

Di sinilah mengapa Indonesia menentang berbagai bentuk penjajahan dengan melibatkan diri secara aktif pada perdamaian dunia. Indonesia pun tidak pernah absen di dalam mengirimkan pasukan perdamaian dunia.

Komitmen sebagai peace facilitator juga dijalankan TNI. Melalui misi perdamaian tersebut, berbagai upaya diplomasi luar negeri yang menyatu dengan diplomasi pertahanan dijalankan.

Hasilnya sangat membanggakan. Kontingen Pasukan Garuda yang menjalankan misi perdana di Mesir pada tahun 1957, hingga terakhir Pasukan Garuda XXVIII di Libanon mampu mengukir prestasi karena kemampuannya memadukan kedisiplinan sebagai militer profesional, kemampuan persuasi yang menopang fungsi utamanya di dalam menjaga perdamaian, pemahaman teritorial, hingga kesatu-paduan dengan masyarakat setempat.

Daya terima masyarakat internasional terhadap TNI di daerah konflik tidak terlepas dari kultur yang terbangun tentang jati diri TNI yang berasal dari rakyat.

Sebab tidak ada senjata yang lebih ampuh daripada persatuan TNI dengan rakyat.

Persatuan TNI dengan rakyat itulah esensi “school of life” yang wajib dijalankan oleh setiap prajurit TNI.

Dengan school of life, setiap prajurit TNI memahami pentingnya konsepsi pertahanan atas cara pandang geopolitik.

Atas pandangan geopolitik pula, Bung Karno menegaskan masa depan dunia berada di Pasifik.

Siapa yang menguasai pasifik akan menguasai dunia, dan untuk menguasai dunia, Indonesia menjadi perebutan pengaruh berbagai kekuatan hegemoni dunia.

Cara pandang geopolitik melahirkan konsepsi pertahanan yang khas Indonesia. Karena itulah mengapa pertahanan Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat, Cina ataupun Rusia yang berbasis kontinental.

Dengan cara pandang geopolitik tersebut, konsepsi pertahanan seperti apa yang sesuai dengan Indonesia?

Apakah Indonesia harus mengembangkan kekuatan militer ala Amerika Serikat, Cina, Rusia, atau justru mencari paduan ideal dengan realitas geografis sebagai negara kepulauan terbesar di dunia?

Jawaban atas pertanyaan di atas, dalam perspektif geopolitik, pertahanan harus memperhatikan konstelasi geografis Indonesia.

Dengan kesadaran terhadap kondisi geografis, dan bagaimana tarik menarik kepentingan akibat konstelasi geopolitik, geostrategi, dan geoekonomi, pertahanan negara Indonesia harus disusun khas sesuai dengan karakter dan kultur bangsa.

Dengan cara pandang ini, Indonesia tidak secara mentah-mentah menelan konsepsi revolution in military affairs (RMA), suatu konsepsi membangun kekuatan pertahanan secara revolusioner dengan memadukan kemajuan teknologi, ketajaman presisi, kemampuan manuver, dan daya hancur berdasarkan integrasi fungsi antara command, control, computers, communications, cyber, inteligence, surveillance, and reconnaissance (C5ISR).

Apapun konsepsinya, kesemuanya berakar dari pentingnya spirit, suatu semangat untuk membangun kekuatan pertahanan secara berdikari, percaya pada kekuatan sendiri.

Apakah itu mungkin? Turki melakukan modernisasi kekuatan pertahanannya dengan melakukan rekrutmen terhadap ahli-ahli militer dan persenjataan dari negara reruntuhan Uni Soviet.

Korea Utara dan Korea Selatan membangun kekuatan militer dengan memanfaatkan military dilemma sebagai dampak perang dingin dan pertarungan geopolitik.

India membangun kekuatan militernya melalui diplomasi pertahanan yang secara cerdas dijalankan dengan memanfaatkan pertarungan hegemoni antara Amerika Serikat dan Cina.

Dengan caranya masing-masing, setiap negara memiliki strategi yang berbeda di dalam mengembangkan kekuatan militernya. Rusia lebih menempatkan pentingnya RMA dengan menempatkan persenjataan strategis di angkasa raya.

Amerika Serikat lebih tertarik pada fungsi integrasi C5ISR dengan meningkatkan daya presisi, kemampuan manuver, dan daya hancur guna menciptakan efek gentar yang semakin dahyat.

Belajar dari keberhasilan negara-negara maju di dalam membangun kekuatan pertahanan, semua keuanggulan tidak muncul tiba-tiba.

Ada beberapa syarat dasar bagi hadirnya kekuatan pertahanan suatu negara yang disegani.

Belajar dari kemajuan negara-negara dengan kekuatan militer yang disegani, dan berkaca dari pengalaman Indonesia di dalam membangun kekuatan pertahanan nasionalnya, dapat diusulkan beberapa hal strategis.

Pertama, adanya strategi dan doktrin yang dirumuskan dengan memperhatikan keseluruhan perspektif ancaman, kapabilitas nasional, kondisi geografis, dan dinamika geopolitik global.

Konspesi pertahanan tidak terlepas dari daya tangkal, ataupun kapabilitas suatu negara di dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman yang semakin kompleks.

Kapabilitas nasional memotret kemampuan kolektif nasional di dalam membangun kekuatan pertahanan atas dasar kekuatan riil pertahanan nasional saat ini, dan bagaimana gambaran kekuatan pertahanan Indonesia di masa depan.

Di situlah strategi dirumuskan atas dasar kapabilitas nasional yang akan dibangun dari perspektif ancaman masa depan.

Dinamika geopolitik global diperlukan untuk memahami keseluruhan peta aliansi pertahanan dan bagaimana Indonesia mensikapi hal tersebut.

Kedua, pentingnya spirit berdikari guna mendorong raya percaya diri di dalam membangun keseluruhan ekosistem pertahanan.

Penggunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara, manajemen pertahanan, intelijen pertahanan, kerjasama militer, penguasaan teknologi militer, pengembangan industri pertahanan, dan bagaimana melakukan aliansi atau suatu upaya mendapatkan teknologi militer hanya bisa terjadi dengan rasa percaya diri yang besar.

Jepang membangun kekuatan militernya dengan modernisasi di seluruh bidang kehidupan. Bagi Jepang, semangat Bushido menjadi sumber spirit dan ditransformasikan menjadi strategic culture bagi hadirnya kekuatan militer Jepang yang militan, modern, profesional, dan memiliki semangat harakiri.

Dengan semangat Bushido tersebut, Jepang pada periode restorasi meiji, menjalin aliansi militer dengan Inggris guna membangun angkatan laut yang tangguh dan modern, sementara modernisasi Angkatan Darat Jepang dilakukan dengan kerjasama strategis dengan Jerman.

Namun tanpa rasa percaya diri yang besar, sulit bagi Jepang melakukan loncatan revolusioner di dalam membangun supremasi kekuatan pertahanannya.

Ketiga, konsistensi pelaksanaan road map bagi kemajuan Industri pertahanan nasional.

Indonesia di dalam membangun Alat utama Sistem Persenjataan (Alutsista) dinilai cenderung berubah-ubah. Setiap ganti pejabat, cenderung terjadi perubahan konsepsi.

Belum kerancuan kewenangan antar instansi.

Keempat, cara pandang geopolitik menjadi dasar diplomasi luar negeri dan diplomasi pertahanan yang mengabdi pada kepentingan nasional Indonesia.

Dinamika di Laut Tiongkok Selatan misalnya. Indonesia harus mengambil prakarsa guna memastikan keamanan kawasan strategis yang begitu penting bagi perdagangan dunia tersebut.

Dengan berbagai hal yang terjadi di kawasan Laut Tiongkok Selatan, Indonesia perlu mengambil inisiatif kepemimpinan melalui multitrack diplomacy atas dasar legitimasi kepemimpinan Indonesia di ASEAN, Asia-Afrika dan Amerika Latin.

Legitimasi kepemimpinan ini diperlukan untuk mengambil inisiatif seperti lead of peace facilitator dengan bertemu dengan Amerika Serikat dan Tiongkok.

Peran sebagai lead of peace facilitator tersebut juga dipakai untuk memerjuangkan kepentingan nasional Indonesia di dalam membangun kekuatan pertahanan Indonesia dengan menggunakan posisi strategis Indonesia di Selat Malaka dan Laut Natuna Utara.

Pesan dari analisis sederhana ini menegaskan betapa pentingnya cara pandang geopolitik guna merumuskan peran Indonesia secara strategis bagi perdamaian dunia.

Pada saat bersamaan, Indonesia secara konsisten terus mengambil prakarsa dengan membangun dialog melalui diplomasi luar negeri dan diplomasi pertahanan.

Guna meningkatkan efektivitas sebagai peace facilitator dapat berjalan efektif, Indonesia secara progresif harus melakukan modernisasi kekuatan pertahanan negara.

Kelima, konsolidasi Industri pertahanan nasional.

Dalam perspektif ini Prof Purnomo Yusgiantoro memiliki gagasan menarik bagaimana pengembangan industri pertahanan menopang, bahkan menjadi driving force bagi perekonomian nasional.

Berbagai perspektif pertahanan negara atas dasar kedaulatan energi, dan juga cara pandang geopolitik, geostrategi, dan geoekonomi dalam konsepsi pertahanan sebagai bagian ilmu pertahanan yang khas Indonesia telah dikupas tuntas oleh Guru Besar yang sangat kompeten dan multitalenta tersebut. Konsolidasi industri pertahanan yang memerkuat perekonomian nasional inilah yang seharusnya dikedepankan.

Dalam keseluruhan kerangka strategis di atas, yang menjadi spirit adalah pentingnya percaya pada kekuatan sendiri. 

Spirit melahirkan tekad, dan tekad mendorong perbuatan nyata bagi hadirnya kekuatan pertahanan nasional Indonesia yang disegani.

Spirit inilah yang seharusnya terus kita gelorakan. Selamat Jendral Andika. Selamat Jendral Dudung. Merdeka!!!.
 

News Update