Sadaring Satupena#6: Kebiasaan Lokal yang Telah Berakar Jadi Tantangan yang Tak Mudah Diretas oleh Para Pegiat Literasi

Kamis 04 Nov 2021, 03:03 WIB
Sadaring #6 Satupena bertajuk “Suara-Suara dari Lumbung Literasi”, Minggu (31/10/2021) yang dilakukan secara virtual. (ist)

Sadaring #6 Satupena bertajuk “Suara-Suara dari Lumbung Literasi”, Minggu (31/10/2021) yang dilakukan secara virtual. (ist)

“Pengusaha sembakonya orang-orang Madura yang sukses di Jakarta. Jadi desa kehilangan generasi produktifnya,” ujar Iffah.

Selain mendirikan perpustakaan di masing-masing rumah para anggota Komunitas Perempuan Membaca, secara pribadi Iffah bersama suaminya menginisiasi pembuatan batik ikat celup.

“Intinya memberikan peluang kepada warga desa untuk berperan mengembangkan kerajinan. Ini bisa menahan mereka untuk urbanisasi,” katanya.

Bahkan, dalam cita-citanya Iffah ingin mendirikan Mahat Ati, lembaga pendidikan setingkat sarjana di lingkup pesantren untuk menjaring anak-anak di desanya.

“Ini kan cita-cita bersama suami. Berharap Mahat Ati memberi pendidikan murah, sehingga mereka lebih terpapar literasi,” tutur Iffah. 

Investasi Literasi
Pegiat literasi dan kurator buku anak Debby Loekito Goeyardi mengatakan literasi dini yang dia kelola melalui Yayasan Kanaditya Denpasar, diharapkan mejadi investasi literasi bagi generasi penerus bangsa.

“Literasi itu kan bisa dimulai dari dalam kandungan lewat para ibu kemudian berlanjut kepada anak-anak sampai usia 18 tahun,” katanya. Debby dan kawan-kawan bersitekun menggalang literasi bagi anak-anak buruh suwun (buruh sunggi belanjaan) di pasar-pasar di kota Denpasar.     

“Umunya anak-anak ini juga bekerja dengan ibunya dan mereka sebagian besar tidak bisa baca dan tulis,” katanya.

Selain mengajar membaca dan menulis, memasok buku-buku bacaan, Debby juga menggelar aneka perlombaan sebagai keluaran dari gerakan literasi yang dia gemakan. 

Belakangan yayasan bahkan juga menangani advokasi bagi para ibu dan anak korban KDRT. “Jadi literasi itu tak sekadar baca tulis,” tutur Debby yang aktif membangun juga mengobarkan literasi di Nusa Tenggara Timur. 

Ketiga pembicara dalam Sadaring Satupena itu sepakat bahwa sikap kesukarelawanan menjadi jantung gerakan literasi.

“Bahkan ibaratnya hanya dengan nasi bungkus saja kita terus bergerak,” kata Ama.

Berita Terkait
News Update