Menohok! DPRD DKI Pertanyakan Dasar Penerbitan Sergub Anies Terkait Larangan Pajang Rokok

Kamis 14 Okt 2021, 13:34 WIB
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak mempertanyakan perihal Sergub Anies soal larangan display rokok. (Ist)

Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak mempertanyakan perihal Sergub Anies soal larangan display rokok. (Ist)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Penerbitan Seruan Gubernur (Sergub) DKI Jakarta No. 8/2021 tentang larangan menampilkan produk industri hasil tembakau (IHT) dinilai melampaui perundangan yang lebih tinggi.

Sejauh ini, penerbitan Seruan Gubernur (Sergub) telah memicu polemik yang luas dan dipertanyakan banyak pihak. Tidak terkecuali anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak.

"Kami mempertanyakan dasar dari aturan tersebut. Apakah yang menjadi dasarnya. Atau hanya ujug-ujug? Kalau mau diberlakukan harus dilihat dasarnya apa" ujarnya, Kamis (14/10/2021).

Seruan tersebut dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta pada Juni lalu dan dinilai berdampak tidak hanya bagi industri ritel di sektor hilir, tetapi juga kepada jutaan petani tembakau dan cengkeh.

Terpisah, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI), Sudarto menilai penerbitan Sergub ini hanya manuver politik yang berpotensi melanggar peraturan yang lebih tinggi. 

“Tujuannya apa kalau tidak mencitrakan bahwa rokok yang sejatinya legal dan ada regulasinya, seolah menjadi barang yang berbahaya. Apalagi dengan show off nya Pemprov DKI yang mengerahkan Satpol PP,” katanya.

Menurutnya, alih-alih mengendalikan konsumsi tembakau, Sergub ini justru mematikan perdagangan dan industri.

“Kalau sudah begitu, berarti buruh dan petani tembakau tidak boleh hidup,” tegas Sudarto.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpandangan bahwa kebijakan Pemprov DKI bertentangan dengan peraturan yang lain, seperti PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Trubus mengatakan dalam PP tersebut rokok diizinkan untuk ditampilkan di reklame dalam ruang. Kebijakan tersebut juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 54/PUU-VI/2008 dan 6/PUU-VII/2009.

Dalam keputusan MK, rokok tidak ditempatkan sebagai produk yang dilarang untuk ditampilkan produknya, terlebih lagi tidak ada larangan untuk diperjualbelikan begitu pun tidak pernah menempatkan tembakau dan cengkeh sebagai produk pertanian yang dilarang.

Lebih jauh, Trubus mengatakan Sergub DKI No. 8/2021 juga kontrapoduktif dengan kebijakan Pemerintah Pusat terkait Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Menurutnya, menghidupkan kembali ekonomi setelah 2 tahun terdampak pandemi merupakan hal yang lebih perlu segera dilakukan.

“[Sergub] Ini menyusahkan baik pemerintah pusat yang tengah melakukan pemulihan, maupun nasib masyarakat kecil. Padahal Pemprov juga tidak punya strategi atau opsi lain pengganti pendapatan dari perdagangan IHT,” tutupnya.

Sebelumnya, Seruan Gubernur (Sergub) DKI Jakarta, No. 8/2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok masih mengundang banyak pro kontra. Salah satu point utama yang menjadi sorotan ialah melarang kemasan produk rokok dipajang.

Bahkan sejumlah wilayah di Jakarta sudah menerapkan sanksi kepada para pelanggar Sergub tersebut. Seperti yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Barat melalui Satpol PP dengan menutup stiker, poster, sampai menutup rak pajangan produk rokok.

Senada, Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta mengatakan kebijakan tersebut kurang tepat dan tidak beralasan. Kebijakan tersebut dia nilai memperlakukan produk IHT sebagai barang ilegal.

“Padahal sebelum ini juga sudah sangat dibatasi dan kami semua patuh. Semua sudah ada aturan perdagangannya termasuk kewajiban seperti pajak yang kami patuhi,” ujarnya.
Menurutnya, larangan menampilkan produk IHT dan zat adiktif akan menekan roda perekonomian yang saat ini masih jauh dari kata normal.

Selain itu, Sergub juga bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi yakni PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang menyatakan bahwa produk rokok yang sah dan secara legal mendapatkan kepastian untuk dijual jika sudah memenuhi ketentuan yang diatur seperti kemasan, kandungan produk, perpajakan, dan rentetan aturan lainnya.

“Kami juga tidak sembarangan menjual di mana saja, harus jauh dari tempat ibadah dan jangkauan anak-anak,” kata Tutum.

Dia juga menyayangkan seruan ini dikeluarkan tanpa sosialisasi, sehingga banyak pelaku usaha yang terkejut dengan kebijakan ini.

Tutum  berharap kebijakan ini dicabut karena bisa memberikan sentimen buruk bagi kepastian berusaha secara garis besar. (deny)

Berita Terkait

News Update