Oleh : Dr. Lamto Widodo, ST, MT
SAAT ini, publik atau jagat maya sering dikejutkan dengan perilaku anggota masyarakat yang dengan ringan mempertontonkan adegan tidak senonoh secara live di sebuah media sosial, hanya untuk mencari sensasi dan meraup untung dari banyaknya jumlah follower yang subscribed.
Belum lagi beberapa perilaku oknum pengendara mobil beberapa waktu lalu ketika diberhentikan petugas di jalan untuk diperiksa kelengkapan persayaratan di masa PPKM, kemudian dengan ringan mencaci maki petugas dengan kata-kata kotor yang sama sekali tidak mencerminkan nilai kesantunan dan kearifan lokal sebagai bangsa Indonesia yang berbudi pekerti luhur.
Berbagai perilaku ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat yang berpendidikan rendah, namun juga oleh mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi.
Tentu saja perilaku ini membuat kita miris, seolah tidak ada lagi bekas-bekas hasil didik dari bangku sekolah, bahkan juga tidak terlihat napak tilas perilaku para pendahulu yang memperjuangkan negeri merdeka ini dengan darah dan air mata.
Tujuan membentuk masyarakat yang adil dan beradab seolah menjadi nilai fatamorgana dan bahkan menjadi cerita masa lalu yang dianggap mutakhir.
Tata nilai anak bangsa tidak lagi mencerminkan perilaku bangsa berbudaya dengan berbagai kesantuan, akhlak sosial, norma adat, serta norma moralitas keagamaan.
Hal ini boleh jadi dipicu oleh derasnya arus globalisasi, dimana mempengaruhi sikap sosial masyarakat baik secara positif maupun negatif.
Aspek positifnya adalah globalisasi dapat merubah pola pikir masyarakat yang irasional menjadi rasional sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan mudah dan menjadikan hubungan antar satu individu dengan yang lainnya menjadi akrab.
Sedangkan aspek negatifnya adalah semakin pudarnya budaya asli Indonesia, akibatnya anak remaja lebih menyukai budaya luar yang mungkin dinilai lebih modern dibanding dengan budaya dan kearifan lokal negeri sendiri.
Budi pekerti luhur, tutur kata santun, saling menghargai perbedaan, saling tolong menolong, dan saling asih telah menjadi cerita masa lalu yang banyak ditinggalkan.
Tatanan kehidupan yang dipertontonkan di berbagai media sosial ini di dominasi oleh kalangan generasi milenial, generasi z, serta generasi alpha.
Keprihatian terhadap kondisi sosial ini seharusnya menjadi pendorong setiap institusi pendidikan, termasuk Perguruan Tingi.
Sebagai institusi yang menyiapkan generasi muda dengan berbagai bekal pengetahuan dan keterampilan, wajib ikut serta membekali para mahasiswa dengan nilai-nilai humanisme sebagai landasan bersikap dan berperilaku.
Program ini dapat dikemas dalam bentuk Program Pendidikan Humaniora.
Ilmu humaniora berkaitan erat dengan aspek sosial, sehingga memiliki andil besar dan peran penting yang strategis dalam membangun karakter bangsa.
Mengacu pada pilar pendidikan, dimana pendidikan dan pembelajaran hendaknya memiliki empat tahapan proses yang terdiri dari: learning to know (untuk mengetahui), learning to do (untuk melakukan), learning to be (untuk membangun jati diri), dan learning live together (untuk hidup bersama-sama) secara harmonis.
Dalam konteks humaniora, empat tahapan proses tersebut sangat mendukung dalam pelaksanaan bidang-bidang ilmu yang terkait humaniora.
Keberhasilan pendidikan tidak cukup sekadar diukur dengan angka ataupun tingkat inteligensia semata, akan tetapi yang lebih penting adalah mengenai pembentukan karakter.
Oleh karena itu, karakter perlu mendapatkan perhatian lebih dalam proses pendidikan di Indonesia, dikarenakan di era yang serba digital ini sering terjadi tindakan nir-karakter pada institusi pendidikan.
Di sinilah letak peran penting dari rumpun ilmu humaniora yang mengambil peran dalam memberikan langkah yang solutif bagi permasalahan tersebut.
Humaniora sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ilmu pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra, seni, dan sebagainya.
Humaniora juga berarti makna intrinsik nilai-nilai humanisme, nilai kemanusiaan. Dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai 'memanusiakan manusia'.
Inilah ajaran luhur dari moyang bangsa Indonesia, bangsa besar dan beradab.
Program Pendidikan Humaniora berisi serangkaian kegiatan pembelajaran yang meliputi pembekalan ilmu pengetahuan tentang filosofi kehidupan, agama, ideologi pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
Kegiatan pembelajaran bukan sekedar pembelajaran materi di kelas atau ruang-ruang belajar daring, namun juga praktik bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mahasiswa dituntut melaksanakan aktivitas di luar kampus untuk berperan dalam masyarakat, kemudian memberikan laporan kegiatan tersebut sebagai bahan evaluasi.
Mahasiswa diwajibkan mengejawantahkan pengetahuan humaniora ke dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.
Keselarasan antara pemahaman keilmuan dan pelaksanaan ini menjadi kunci dari keberhasilan proses pendidikan.
Model evaluasi dapat bervariasi antara lain dengan membuat tulisan ilmiah/paper, membuat poster aktivitas, membuat konten video, maupun tugas lainnya yang berbasis kinerja.
Pola pembelajaran ini sesuai dengan Permendikbud No. 3 tahun 2020, khususnya tentang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Pemerkayaan ragam ilmu dilaksanakan dalam suatu ruang belajar di luar kampus, sekaligus sebagai laboratorium sosial yang menempa keterampilan mahasiswa untuk bersikap dan berperilaku humanis.
Beberapa studi kasus juga dapat diberikan kepada mahasiswa untuk ditelaah menjadi bahan diskusi, antara lain mengenai ketangguhan dalam berkeyakinan agama sekaligus memiliki jiwa toleransi yang tinggi, ataupun mengenai kondisi perilaku sosial menyimpang baik secara fisik maupun di dunia maya yang jauh dari nilai budaya.
Kesadaran tentang kewajiban sebagai warga negara seperti membayar pajak, kesadaran tentang bahaya penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, tentang bahaya terorisme dan separatisme, tentang permainan di dunia maya yang melewati batas norma, maupun berbagai ragam topik lain yang lebih kekinian.
Manfaat dari metode belajar blended, antara teori di kelas, pelaksanaan praktik humaniora, serta pembuatan laporan akan memberikan keterampilan yang lebih komprehensif kepada para mahasiswa.
Bukan saja kemampuan intelektual, namun juga disertai dengan kemampuan dan ketangguhan yang positif dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai contoh best practice, pada akhir masa perkuliahan humaniora dapat dilaksanakan program inagurasi berupa kegiatan festival humaniora atau sejenisnya yang melibatkan seluruh mahasiswa peserta mata kuliah humaniora dari pelbagai program studi.
Festival yang diadakan ini dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi dan kontestasi kinerja mahasiwa yang telah mengikuti pembelajaran humaniora.
Sebagai puncak acara dilakukan kegiatan akbar berupa seminar/webinar tentang humaniora yang berisi pemaparan dari para narasumber yang kompeten, penyampaian dan penayangan hasil lomba, serta pemberian hadiah bagi para pemenang.
Hasil dari kegiatan Festival Humaniora ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai role model pembelajaran dalam kerangka Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Perubahan metode jam belajar dikonversi menjadi jam kegiatan dengan berbagai variasi metode pembelajaran.
Lebih jauh lagi, pendidikan Humaniora ini merupakan salah satu andil turut serta mensukseskan tercapainya tujuan pendidikan seperti tertuang dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pendidikan Nasional, yaitu bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hal ini selaras dengan Standar Pendidikan Tinggi sesuai Permendikbd Nomor 3 Tahun 2020, yaitu menjamin tercapainya tujuan Pendidikan Tinggi yang berperan strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan.
Para mahasiswa adalah para pemuka dan pemimpin masa depan bangsa di era mendatang.
Dengan demikian perguruan tinggi-lah yang menjadi garda terdepan dalam pembentukan karakter dan kepribadian bangsa.
Kegagalan dari proses pendidikan yang hanya menitikberatkan pada nilai intelektual semata, akan dibayar sangat mahal oleh bangsa ini dengan kemunduran akhlak dan perilaku masyarakatnya. (*)
Penulis Adalah Dosen Tetap Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara Jakarta.