Untuk meningkatkan daya saing, Surono memproklamirkan diri sebagai paranormal pula. Biar nampak meyakinkan dan berwibawa, dia kini pelihara rambut gondrong dan namanya pun berganti jadi Mbah Suro.
Dan ternyata, satu dua ada orang percaya dan memaftkan jasanya, padahal selama hidupnya dia tak pernah tirakat pasa ngebleng atau patigeni tak pernah dilakukan.
Popularitas Mbah Suro ternyata sampai juga ke Desa Puter, padahal dia tak pernah pasang baliho dengan motto: kepak kemenyan, dupa persahabatan.
Dia adalah keluarga Slamet, yang punya keluhan istrinya ada gangguan di punggung. Kata orang dia kena pengapuran, padahal seumur-umur Ny. Dartini tak pernah jadi guru.
Maka dukun Mbah Surono pun dipanggilnya ke rumah. Pertama kali melihat Ny. Dartini, dalam hati sang paranormal itu bilang: boleh juga nih.
Ini mengingatkan pada Bung Karno ketika ketemu Inggit Garnasih di Bandung sekitar tahun 1921, saat mau kuliah di ITB. Terpesona pada pandangan pertama, padahal sudah ada istri Utari.
Tapi Mbah Suro memang bukan kelasnya Bung Karno. Ketika Slamet pamitan mau beli onderdil TV, oleh Mbah Suro dianggap sebuah peluang emas.
Maka Ny. Dartini dibawa masuk kamar untuk diterapi sekaligus dipijit. Tapi syaratnya aneh, selama dipijit harus telanjang bulat bak singkong kupasan siap rebus.
Alasannya, dengan posisi bugil segala ilmu miliknya bisa langsung meresap ke dalam tanpa penghalang.
Saking kepenginnya sembuh, Dartini pun bersedia. Namun demikian dia tetap mengenakan celdam dan pasang masker pada kedua payudaranya.
Bini Slamet sengaja melakukan hal itu untuk berjaga-jaga dari berbagai kemungkinan. Soalnya dia hafal dengan kelakuan mayoritas lelaki, asal melihat barang mulus bebas dempul langsung blingsatan dan salting.
Demikianlah, Mbah Suro terus memijit nyet, nyet, nyet. Tapi ketika mendekati daerah “cagar alam” tangannya mendadak iseng banget, langsung main kobok.