Intan Soeparna dalam paparannya menyebutkan bahwa UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran saat ini sudah sangat ketinggalan.
Dalam UU Ketenaganukliran tersebut tidak dijelaskan tentang aspek pengusahaan nuklir oleh badan usaha swasta. Badan swasta tersebut apakah perusahaan joint venture asing, joint venture swasta dengan BUMN, koperasi atau perusahaan kontrak kerja.
"Hal tersebut mengakibatkan ketidakjelasan investasi di sektor nuklir. Juga tidak ada diatur dalam UU Ketenaganukliran mengenai cyber nuclear dan terorisme nuklir, dimana hal ini sudah menjadi perhatian dunia," katanya.
Dhoni Martien dalam hal pengawasan menunjukkan kelemahan dalam pengaturan kelembagaan ketenaganukliran.
"Sebagai regulator ketenaganukliran, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) tidak memiliki instrumen hukum yang kuat. "Mulai dari tidak adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil, sampai dengan sanksi pidana dan administratif yang masih sangat lemah dalam UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan peraturan pelaksananya," ujarnya.
Menurut advokat yang juga berprofesi sebagai dosen itu, di samping harus diperkuat, BAPETEN juga harus diberi batasan kewenangan yang jelas.
"Siapa yang akan mengawasi BAPETEN? Mengingat saat ini, pasca terintegrasinya BATAN ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), BAPETEN adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang mengurusi ketenaganukliran," tukasnya.
"Untuk mengarahkan kebijakan ketenaganukliran, mengingat pemanfaatannya yang lintas sektor, perlu segera dibentuk Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir yang juga merupakan amanat Pasal 5 UU No. 10 Tahun 1997," imbuhnya.
Webinar dihadiri berbagai kalangan pemangku kepentingan, yakni lembaga pemerintah seperti BATAN, BAPETEN, dan Kejaksaan, pemegang izin pemanfaatan tenaga nukir dari bidang medis dan industri, serta akademisi-akademisi dari bidang ilmu terkait. (toga)