Kopi Pagi

Di Depan Beri Teladan Wujudkan Kemakmuran

Kamis 18 Feb 2021, 07:00 WIB

Oleh Harmoko

BANYAK falsafah kepemimpinan yang bisa menjadi rujukan. Negeri kita pun kaya dengan falsafah kepemimpinan yang telah ditorehkan oleh para tokoh besar sejak era kerajaan, perjuangan hingga saat sekarang.

Dalam filosofi Jawa, cukup banyak dikenal di antaranya falsafah kepemimpinan Sultan Agung. Selain Astabrata, Tribrata, dan model kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada.

Dalam falsafah kepemimpinan Sultan Agung seperti diulas dalam “Serat Sastra Gendhing”, terdapat tujuh pedoman untuk menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya.

Baca juga: Menyelaraskan Keadaan

Sekadar mengingat, dalam literatur disebutkan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593-1645)
adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645.

Kerajaan Mataram Islam mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung dengan wilayah kekuasaan mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Pulau Madura, serta daerah Sukadana di Kalimantan Barat.

Hasil sejumlah riset para ahli juga menyebutkan keteladanan Sultan Agung dalam memimpin masyarakat dan mengelola negara, bisa menjadi inspirasi para pemimpin di era kini, di semua tingkatan.

Baca juga: Perlu Bijak dan Kompak

Ketujuh pedoman kepemimpinan Sultan Agung, dua di antaranya sbb:

Pertama:  bahni bahna amurbeng jurit - seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran.

Keduarukti setya garba rukmi - seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna mewujudkan kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa.

Pada poin satu (1), kata selalu berada di depan, tentunya dikandung maksud ketika negeri menghadapi musibah dan masalah. Ketika rakyat susah, hendaknya tampil di depan ikut merasakan derita rakyatnya, dan sesegera mungkin menyelesaikannya.

Baca juga: Melestarikan Kekayaan Alam

Menjadi teladan memang tidaklah mudah, apalagi sebagai pemimpin yang akan selalu disorot publik, tak hanya kebijakan, tetapi ucapan dan perilaku perbuatan. Kadang, tak hanya pribadi pemimpin, juga melebar kepada anggota keluarganya ( istri/suami, anak, ponakan dan kerabat dekat).

Seorang pemimpin harus “satunya kata dan perbuatan”, artinya perbuatan yang dilakukan sesuai dengan ucapan. Tak ada pengingkaran antara perkataan dan perbuatan, lebih – lebih dalam membela kebenaran dan keadilan.

Sebut saja, katanya: "Ayo berantas korupsi!" Tetapi dirinya menerima suap dan gratifikasi. Mengajak masyarakat berlaku adil, tetapi dirinya membuat kebijakan yang tidak adil, tidak mencerminkan keadilan.

Baca juga: Aman dan Berdaulat

Perilaku demikian tentu sebagai bentuk pengingkaran atas upaya mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat sebagaimana cita-cita bangsa dan negara, sejak negeri ini didirikan.

Meneladankan berarti memberi contoh, termasuk ketika membangun kekuatan, menghimpun segala daya dan potensi guna mewujudkan kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa.

Kita berharap, pemimpin di level mana pun, tampil di depan dalam mengatasi masalah, bukan kehadirannya malah menambah masalah. Tampil di depan menjadi teladan kebaikan, bukan memperburuk keadaan, lebih-lebih ketika negeri kita sedang menghadapi beragam tantangan.

Keteladanan pemimpin negeri yang sudah teruji, telah dibuktikan hendaknya diteruskan dan dikembangkan pada segala aktivitas kehidupan. Semoga. (*)

Tags:
Kopi PagiDi Depan Beri Teladan Wujudkan KemakmuranTeladanKemakmuranDi Depan Beri TeladanWujudkan Kemakmuran

Reporter

Administrator

Editor