Ego Kelompok Tidaklah Elok

Kamis 08 Apr 2021, 07:00 WIB
Bung Harmoko, karikatur.

Bung Harmoko, karikatur.

Oleh Harmoko

KITA mengenal banyak kata ego.Ada egois, egoisme, egoistis dan egosentris. Meski beda ejaan, tetapi makna yang terkandung di dalamnya hampir sama, yakni adanya kehendak mementingkan diri sendiri, dorongan untuk keuntungan diri sendiri, hasrat menjadikan diri sendiri sebagai pusat pemikiran, menilai segalanya dari sudut dirinya sendiri.

Itu semua dikatakan sifat buruk. Lantas bagaimana dengan ego? Jawabnya tak selamanya buruk, jika mampu mengendalikannya. Jika ego diartikan sebagai bentuk konsepsi individu tentang dirinya sendiri.

Jika ego dimaknai sebagai rasa sadar akan diri sendiri sehingga hasrat diri tidak berkembang menjadi egois, egosentris, lebih-lebih egomania.

Itulah sebabnya sifat ego perlu diasah melalui akal budi yang kita miliki agar ucapan dan perilaku perbuatan sejalan dengan lingkungan yang acap berpedoman kepada lima hal : adat, budaya, etika, moral dan normal sosial.

Kepatuhan terhadap kelima hal itulah menjadikan kehidupan makin beradab. Penuh toleransi, bukan intoleransi. Saling menghormati, bukan menghakimi dan saling caci maki. Bukan pula mau menang dan benarnya sendiri.

Sifat-sifat itulah yang telah diajarkan para leluhur kita sejak dulu kala yang kemudian atas perjuangan para founding fathers, dilegalkan dalam falsafah hidup bangsa kita, Pancasila.

Ironi, jika ajaran luhur itu terabaikan, bahkan ditinggalkan dalam era kehidupan sekarang ini yang ditandai munculnya sejumlah peristiwa memiriskan hati karena jauh dari sikap toleransi yang dipicu adanya “ego kelompok”.

Tak jarang ego kelompok dipertontonkan secara terbuka, menjadi semacam primadona eksistensi jati diri meski tak selaras dengan etika dan moral. Terlihat kian viral tak hanya di dunia maya, juga mencuat di dunia nyata.

Cukup beralasan sekiranya para ahli, pengamat, hingga pejabat negeri senantiasa berpesan untuk membuang jauh sifat ego kelompok. Sering terjadi ego kelompok dapat berakhir bentrok, konflik berkepanjangan yang menutup alur toleransi dan harmonisasi. Sementara kita tahu, intoleran yang kian menajam bisa mengukir fanatisme dan embrio radikalisme.

Yang perlu kita bangun adalah narasi kerukunan, bukan perpecahan. Narasi kedamaian, bukan konflik dan kebencian. Bukankah “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” - rukun membuat sentosa dan kokoh, sedangkan bertengkar membuat rusak dan menimbulkan kehancuran.

Lebih jauh lagi, perlu dikembangkan sikap humanis (kemanusiaan) sebagaimana terukir jelas dalam butir-butir filosofi bangsa kita. Humanis adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, saling menyayangi, menghormati, tenggang rasa dan tidak semena-mena.

Aktualisasi diri melalui sikap perbuatan yang lebih berorientasi kepada lingkungan sekitar, bukan pada dirinya sendiri. Ada dorongan tanpa pamrih ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

Terasa ego kelompok tidaklah elok ditengah upaya memperkokoh kerukunan dan persatuan guna mengatasi kian beragamnya tantangan.

Ini dapat terwujud, jika para elit politik memberi teladan, bukan menambah kegaduhan karena terkesan membiarkan kian solidnya ego kelompok pendukungnya, simpatisannya.

Baca Juga:

Pemerintah hendaknya kian memperbanyak dan memaksimalkan ruang-ruang partisipasi dalam menyelesaikan konflik secara bersama-sama. Tujuannya, merobohkan dinding pemisah antara kelompok yang satu dengan lainnya, kadang dinarasikan kelompok pro pemerintah dan kontra yang terbentuk akibat mengkristalnya ego kelompok, karena, boleh jadi, merasa mendapat perlindungan, adanya dukungan “kekuasaan” dan “pendanaan”.

Mari kita buka ruang partisipasi menyelesaikan konflik, setidaknya di lingkungan kita sendiri. (*)

Berita Terkait

Berburu Jabatan

Kamis 22 Apr 2021, 07:00 WIB
undefined

“Musuh yang Tersembunyi”

Senin 26 Apr 2021, 07:00 WIB
undefined

Kebijakan Berkelanjutan 

Kamis 06 Mei 2021, 07:00 WIB
undefined

Maaf Tak Sebatas Ucapan

Senin 17 Mei 2021, 07:00 WIB
undefined
News Update