JAKARTA - Anggota komisi XI DPR RI dari fraksi PKS, Anis Byarwati kritisi realisasi serapan dana program PEN.
Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani menyampaikan bahwa hingga pertengahan November 2020 serapannya baru mencapai 55,1% atau sebesar Rp383,01 triliun dari pagu anggaran Rp695,2 triliun.
Hal ini berarti, sampai akhir tahun atau dalam waktu dua bulan, ada sekitar Rp312,01 triliun dana yang harus diserap oleh pemerintah. Dari enam klaster program, hanya ada dua kluster yang penyerapannya di atas 50%, yaitu klaster Perlindungan Sosial dengan serapan sebesar 77,3% dan klaster Dukungan UMKM dengan serapan sebesar 82,9%.
Baca juga: Realisasi Anggaran PEN Hingga 2 November 2020, Sudah Tersalurkan Rp366,86 Triliun
Kemudian terdapat satu klaster yang serapan anggarannya baru 3,2% atau sebesar Rp2,001 triliun dari pagu Rp62,22 triliun, yaitu klaster Insentif Korporasi. Sementara untuk sektor kesehatan yang merupakan pemicu krisis saat ini, serapannya masih rendah di bawah 50% yaitu sebesar 35,1%.
"Kondisi ini sangat disayangkan. Padahal, sebagai leading sector dalam pandemi ini seharusnya ada strategi tepat dan jelas dalam penggunaan anggaran kesehatan. Faktor Kesehatan ini bukan hanya menurunkan kasus Covid-19, tetapi juga berdampak signifikan pada pemulihan ekonomi. Karena ekonomi tidak akan pulih sepenuhnya jika Covid-19 terus bertambah," ujar Anis, Selasa (17/11/2020).
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga menyoroti serapan yang rendah pada klaster insentif usaha yang baru terserap 31,6% atau sebesar Rp38,13 Triliun dari pagu Rp120,61 Triliun. Jika dirinci, program ini terdiri dari sejumlah pelonggaran pajak bagi pelaku usaha.
Baca juga: Ini Alasan Fraksi Golkar DPR Desak Adanya Pajak 0 Persen Mobil Baru
Meliputi Pph Pasal 21 ditanggung pemerintah, pembebasan pajak import Pph Pasal 22, pengurangan angsuran Pph Pasal 25, pengembalian pendahuluan PPN, penurunan tarif Pph Badan dan stimulus lainnya. Sementara disisi lain, dunia usaha sendiri saat ini tengah lesu karena pandemi Covid-19.
"Lesunya dunia usaha, menjadikan insentif ini kurang dimanfaatkan sehingga akibatnya daya serapnya sangat rendah. Bahkan para analis menyebutkan bahwa stimulus ini seperti tidak relevan dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Insentif diberikan sementara dunia usaha yang diberikan insentif tersebut sedang lesu. Ini menjadi catatan yang harus diperhatikan bersama," kata Anis.
Ahli ekonomi Islam dari Universitas Airlangga ini menegaskan bahwa secara keseluruhan, rendahnya realisasi PEN ini menjadi permasalahan besar.
"Menurut saya, sebagaimana diungkapkan sebagian kalangan bahwa pemerintah tidak hanya dianggap gagal menggunakan toolsnya untuk menangani penyebaran pandemi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, (karena serapan 52% dianggap belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi), tetapi juga pemerintah mendorong opportunity loss yang sangat besar dari beban utang di masa depan," tegas Anis.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Utang Indonesia Warisan Belanda, Anis: Tidak Relevan
Untuk menjalankan Program PEN ini, pemerintah harus menggelembungkan defisit anggaran hingga di atas 5%. "Apabila utang sudah direalisasikan tapi anggarannya tidak digunakan, maka akan ada miss opportunity anggaran yang sangat besar. Karena itu, pemerintah harus melakukan identifikasi akar masalah terkait lambatnya serapan dana PEN itu," tutupnya. (rizal/ys)