DULU, ini cerita dulu kalau mau suara bisa didengar sama lawan bicara atau pendegar yang cukup jauh, maka bicara harus dengan suara keras. Berteriak “Hai, apa kabar, sehat wal afiat? Syukur. Mampir sini!” begitu kira-kira dengan suara dikeraskan, dua tiga kali lipat, atau setara berteriak.
Maka tak heran kalau orang di desa, yang rumahnya berjauhan, ada yang di atas bukit, di lembah, misalnya maka suara mereka, kalau bicara seperti orang marah.
Nah, tempat-tempat ibadah, langgar, surau, musola atau masjid juga harus ada menara, yang gunanya tidak lain untuk memanggil jamaah sekampung. Orang azan harus di atas menara, dengan suara yang keras dan keras. Biasanya, agar suara tidak pecah maka dibuat semacam corong dari seng sebagai penyambung suara.
Baca juga: Inilah yang Selalu Jadi Sasaran Kemarahan
Itu dulu, ketika listrik belum ada. Dan teknologi belum seperti sekarang. Sebelumnya ada yang namanya corong speaker dengan kekuatan aki, kemudian ada listrik yang bisa didengar jauh seantero kampung. Amplifire yang bisa menguatkan suara sepanjang orang mau mendengar, tergantung besar kecilnya kekuatan listriknya.
DPR, juga bisa disebut sebagai penyambung suara, yakni suara rakyat. Mereka para yang mulya itu, memang dipilih oleh rakyat untuk mewakili rakyat yang berkaitan dengan nasibnya di dalam negeri. Jadi nggak harus semua orang berduyun-duyun menyambangi pemerintah. Cukuplah para anggota dewan saja untuk mewakli.
Ya, misalnya sesuatu yang menyejahterakan rakyat. Jadi, kalau ada kebijakan yang merugikan rakyat, seharusnya DPR-lah yang membela mati-matian. Bilang, kami dimandatkan oleh rakyat bahwa yang ini bakalan bikin sengsara rakyat, kami tidak seutuju. Oke?
Baca juga: Tahu Saja Belumlah Cukup Tanpa Menerapkan
Nah, itu penyambung suara, mikrofon tolong jangan dimatiin dong, biar wakil rakyat yang baik, bisa bicara dan didengar semua orang. Oke? (massoes)