Prof Amir Santoso, guru besar UI, rektor Universitas Jayabaya.

Opini

Obrolan Minggu Profesor Amir Santoso: Konstitusional 

Minggu 11 Okt 2020, 06:00 WIB

KATA konstitusional ini banyak dilantunkan belakangan ini seiring dengan maraknya penolakan terhadap Omnibus Law. Kata inipun biasanya dinyatakan misalnya, penolakan UU itu dan UU apapun harus dilakukan secara konstitusional. Artinya harus dilakukan dengan mengikuti prosedur hukum.

Jika suatu UU dirasakan tidak baik, tidak aspiratif dan tidak adil maka penolakan itu harus dimajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan MK itu harus dijadikan pegangan dan harus diikuti meskipun misalnya menolak tuntutan publik.

Ini konsekuensi dari prosedur konstitusional. Artinya, meskipun keputusan MK dianggap tidak adil maka publik harus menerima keputusan tsb.

Baca juga: Bamsoet: Ekspresi Kebebasan Berpendapat Harus Dilakukan Proporsional

Apakah hal itu adil? Tentu saja tidak. Karena itu prosedur konstitusional kadang-kadang tidak dipatuhi oleh publik dan terjadi demonstrasi menolak suatu UU atau kebijakan pemerintah lainnya. Apalagi jika publik sudah terlanjur tidak percaya terhadap lembaga-lembaga pemerintah.

Di AS misalnya, demo meminta persamaan hak kulit hitam dengan kulit putih terjadi terus hingga saat ini. Di Hongkong, kaum muda berdemo tiap hari dalam beberapa bulan terakhir menuntut agar RRC memberikan kebebasan berdemokrasi bagi warga Hongkong. Di Bellarusia, warganya melakukan demo menentang hasil pilpres yang dianggap curang, dan banyak contoh lainnya.

Bagaimana kita harus memaknai berbagai demo dari warga dimanapun terhadap pemerintahnya? Demo itu adalah salah satu cara yang dipilih oleh rakyat untuk menyatakan kehendak mereka kepada pemerintah.

Baca juga: Kemlu Mengkonfirmasi Soal Wanita WNI yang Ditangkap di Filipina Terkait Bom

Tapi di negara manapun demo dilakukan hanya ketika Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat dianggap tidak mampu mewakili kepentingan rakyat.

Jadi menurut pandangan ini, demo adalah cara yang konstitusional apabila DPR dan pemerintah tidak mau mengikuti kemauan rakyat. Sebab rakyat tidak memiliki sarana dan cara lainnya lagi apabila aspirasi nya tidak didengar.

Karena itu menurut pandangan ini, jika pemerintah dan DPR mengeluarkan kebijakan tanpa menghiraukan kepentingan dan aspirasi rakyat, maka dengan sendirinya pemerintah dan DPR itulah yang telah mengeluarkan kebijakan yang tidak konstitusional.

Baca juga: Demo UU Cipta Kerja, 68 Pelajar SMP pun Ikut Turun, Lalu Diamankan Polres Jakarta Timur

Dengan demikian fokus dari pendapat ini adalah rakyat. Kehendak rakyatlah yang harus diutamakan mengatasi kehendak golongan atau partai. Mengutamakan kehendak rakyat itulah yang konstitusional.

Sebaliknya jika hanya mengutamakan kehendak satu golongan atau partai harus dianggap tidak konstitusional meskipun dikeluarkan melalui prosedur yang konstitusional yaitu melalui proses pembuatan UU. 

Melalui pendapat ini kita mencoba kembali meluruskan makna kedaulatan rakyat yang merupakan slogan demokrasi. Inti demokrasi adalah rakyat, bukan pemerintah dan bukan DPR. Sebab pemerintah dan DPR hanyalah sekedar organisasi yang dibentuk oleh rakyat untuk melaksanakan kehendak rakyat. Jadi ketika kita dipilih oleh rakyat untuk menjadi pemerintah atau wakilnya di DPR, maka kita itu sebenarnya adalah pelayan rakyat bukan tuannya rakyat. 

Baca juga: Polisi Buru Pembakar Fasilitas Umum Pakai Bom Molotov, dan Pemasok Makanan Kelompok Anarko

Kalau kita dipilih oleh rakyat  menjadi pejabat atau anggota DPR lalu tidak me mau mendengarkan aspirasi rakyat, itu namanya pengingkaran terhadap tugas yang diamanahkan kepada kita  oleh rakyat. Pengingkaran seperti itu bisa dikategorikan sebagai prilaku tidak konstitusional. 

Apakah yang disebut sebagai rakyat itu selalu benar? Tidak juga. Karena itu apabila pemerintah ingin membuat suatu kebijakan, dianjurkan agar sebelum kebijakan itu dibuat dilakukan dulu semacam monitoring untuk mendengarkan pendapat rakyat. Sebarkan dulu niat pemerintah tsb. Ajak rakyat berdialog, tentu melalui wakil-wakil rakyat yang di DPR maupun yang di luar DPR. Yang diluar DPR itu misalnya Ketua buruh, Ketua petani, nelayan, Pimpinan BEM, LSM dll, sesuai dengan topik kebijakan yang akan dibuat. 

Kalau diskusi, dialog dan komunikasi antara rakyat dengan pemerintah dapat dilangsungkan dengan lancar dan disertai dengan niat baik dari semua pihak, kita bisa berharap bahwa demo-demo akan bisa dikurangi.

Baca juga: Jokowi Sebut Unjuk Rasa menolak UU Cipta Kerja Karena Disinformasi dan Hoaks

Kesimpulannya  ajaklah rakyat berdialog sebelum suatu kebijakan atau keputusan dibuat demi ketenangan dan kemajuan bangsa.

(Prof Dr Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Tags:
Obrolan MingguProfesor Amir Santoso:Konstitusional 

Reporter

Administrator

Editor