JAKARTA – Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 sudah beralih, yang semula dipegang oleh dr Achmad Yurianto digantikan oleh Prof Wiku Adisasmito. Entah bagaimana prosesnya pergantian ini, mungkin saja keduanya bertangga, sama-sama dari Malang,
Yang terakhir tentu hanya candaan, Yang sebenarnya, keduanya adalah orang-orang hebat di bidang kedokteran. Yang membedakan, keduanya punya latar belakang lain yang berbeda.
Pak Yurianto dari militer berpangkat Kolonel, beliau juga menjadi Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI.
Kolonel CKM (Purn.) dr. Achmad Yurianto, lahir di Malang, 11 Maret 1962, ia adalah seorang dokter asal Malang yang menjabat sebagai Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, sejak 9 Maret 2020.
Sejak merebaknya pandemi virus Corona jenis baru di Indonesia pada awal tahun 2020, ia ditunjuk sebagai juru bicara pemerintah pada lembaga Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada bulan Maret hingga bulan Juli 2020.
Ia adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Jawa Timur angkatan tahun 1990 dan banyak berkarier sebagai dokter di lingkungan Tentara Nasional Indonesia.
Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., PhD, adalah seorang ahli dalam bidang kebijakan kesehatan dan penanggulangan penyakit infeksi yang memprakarsai dibentuknya Indonesia One Health University Network. Wiku juga berkiprah aktif dalam jejaring Tri Dharma baik di ranah nasional maupun internasional.
Sebelum menjadi jubir, Prof Wiku bertugas sebagai Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Lebih jauh mengenai Wiku Adisasmito, berikut profil dan sosoknya: Pria kelahiran Malang 20 Februari 1964 ini memiliki nama dan gelar lengkap Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, MSc. Ph.D.
Mengutip laman resmi Universitas Indonesia, gelar sarjana juga dokter hewan berhasil ia raih dari Institut Pertanian Bogor (IPB) di tahun 1995.
Selanjutnya dia menyelesaikan pendidikan pascasarjananya, baik S-2 (1998) maupun S-3 (1995) di Colorado State University (CSU).
Dari kampus itulah gelar Master of Science (M.Sc) dan Doctor of Phylosophy (Ph.D) ia sandang. Saat ini, ia merupakan staf pengajar yang juga menjadi Guru Besar bidang kebijakan kesehatan di bidang sistem kesehatan dan penanggulangan penyakit infeksi di Universitas Indonesia (UI).
Di UI, Wiku mengajar sejumlah mata kuliah pada mahasiswa sarjana dan pascasarjana di Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI.
Sebagai seorang akademisi, pria berusia 56 tahun ini sudah banyak menghasilkan riset-riset ilmiah di bidang yang ia tekuni.
Dari Ksatria Beralih ke Wiku
Dari latar belakang Achmad Yurianto dia adalah seorang prajurit, seorang ksatria. Dia telah berlaga melawan Corona sekita tiga bulan lebih. Wajahnya tampil tiap siang untuk memberikan informasi kasus covid-19.
Saat memberikan informasi, Yurianto tampak selalu mengenakan baju batik, bagus-bagus. Ada di antaranya batik bermotif simbol Corona. Entah berapa jumlahnya, yang jelas tiap hari berganti busana batiknya, denan motif dan corak berganti-ganti juga.
Dengan mengenakan baju batik, terlihat Yurianto yang tentara tampil lebih kalem. Tidak seperti kalau dia mengenakan baju kedinasannya, apalagi kalau mengenakan baju seragam tentara.
Mungkin dengan adanya baju batik itu, dia memang didandani, supaya wajahnya juga lebih lembut tidak ketekuk-tekuk karena beratnya tugas menangani corona yang berkepanjangan.
Akan halnya Prof Wiku Adisasmito, dari awal tampak sudah kalem. Ia pakar, ia akademisi yang lebih banyak di balik layar, di pa-Depok-an juga, sebab kampusnya tempat mengajar di UI Depok. Melihat kampus UI yang teduh dan masih berbalut hutan karet, layaknya Prof Wiku bersemedi.
Wiku dalam Bahasa Jawa berarti seorang pertapa, dalam kamus Bausastra Djawa kata wiku artinya pendhita tapa. Orang menjadi wiku berarti menjalani hidup yang jauh dari keramaian, bertapa dan mengkonsentrasikan dirinya untuk menghadap Tuhan.
Sikap tenang Pak Wiku tampaknya menggambarkan hal itu. Nama lengkap Pak Wiku adalah Wiku Adisasmito, yang kurang lebih bermakna sasmita = pertanda, alamat, sedangkan adi = unggul. Harfiah bisa dibaca pertanda unggul.
Nama adalah doa, harapan, kata orang Jawa, asmo minongko jopo (asma minangka japa), kurang lebih, nama dijadikan doa.