ADVERTISEMENT

Dua Pembunuh Pengacara Terkenal Myanmar, Ko Ni, Dihukum Mati

Sabtu, 16 Februari 2019 00:55 WIB

Share
Dua Pembunuh Pengacara Terkenal Myanmar, Ko Ni, Dihukum Mati

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

MYANMAR- Dua pria dihukum mati di Myanmar dalam kasus pembunuhan seorang pengacara Muslim, Ko Ni, pada saat siang hari di Bandar Udara Internasional Yangon pada 29 bulan Januari 2017. Nick Beake melaporkan dari Yangon. Sulit membayangkan gambaran yang lebih menakutkan. Pembunuh mengikuti sasarannya, seorang pria tua yang sedang menggendong cucu laki-lakinya. Pistol benar-benar menyentuh kepala korban yang tidak menyangka adanya serangan tersebut. Yang terjadi sesudahnya - terekam di kamera - membuat satu keluarga kehilangan seorang kakek dan Myanmar kehilangan salah satu orang sosok yang menjanjikan masa depan yang lebih demokratis Pembunuhan pengacara terkemuka Ko Ni itu benar-benar mengejutkan Mynamar. Bagi kebanyakan orang, kejadian kejam ini mengingatkan bahwa meskipun sekarang negara ini mungkin saja memiliki pemerintahan sipil, tetapi militer masih yang paling menentukan. Kyi Lin, yang menembak, dan Aung Win Zaw, yang membantu pembunuhan, sekarang dihukum mati lewat sidang pengadilan yang banyak dikecam. Dua orang lainnya dinyatakan bersalah. Ingin mengubah konstitusi rancangan militer Kecil kemungkinan para pria ini akan benar-benar dihukum karena Myanmar diyakini sudah tidak pernah melakukan hukuman mati selama lebih 30 tahun. Dan memang terdapat suasana bahwa keadilan belum ditegakkan. Sebagai penasihat hukum partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung San Suu Kyi, Ko Ni mencari cara untuk mengubah konstitusi tahun 2008 yang dirancang pihak militer. Ini membuatnya memiliki musuh-musuh yang berkuasa. "Bagi saya, dia adalah seorang pahlawan," kata anak perempuan tertua Ko Ni di rusun keluarga di Yangon. Yin Nwe Khaing, seorang dokter, duduk di samping ibunya yang dengan perlahan menghapus air mata. "Dia mengorbankan segalanya untuk keyakinannya dan kebenaran. Dia adalah orang yang sangat besar dan berani. Kami sangat kehilangan." Demokrasi juga kehilangan dirinya. Berdasarkan konstitusi yang ingin diubah Ko Ni, militer secara otomatis mendapatkan 25% kursi di majelis tinggi dan majelis rendah parlemen. Perubahan apapun terhadap konstitusi memerlukan persetujuan lebih dari tiga perempat anggota parlaman, jadi militer memiliki hak veto. Mereka juga menguasai tiga kementerian keamanan di bawah pengaturan saat ini. Konstitusi 2008 juga melarang Aung San Suu Kyi menjadi presiden Myanmar karena disebutkan tidak seorangpun yang memiliki anak berkewarganegaraan asing diizinkan menjabat. Militer berpengaruh Suu Kyi tidak bisa menjabat karena dia memiliki dua anak laki-laki dari almarhum suaminya yang berkewarganegaraan Inggris. Ko Ni adalah orang yang menciptakan peran penasihat negara - di atas presiden - yang sekarang memungkinkan Suu Kyi memimpin pemerintahan sipil. Tindakan ini membuat marah para jenderal. Pembunuhan Ko Ni dipandang sebagai contoh paling jelas bagaimana militer masih sangat menguasai Myanmar - meskipun telah menarik kekuasaan politik setelah 50 tahun menjalankan kediktatoran militer. Tetapi angkatan darat selalu menyangkal bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Otak yang diduga di belakangnya adalah seorang mantan perwira tinggi. Dan Interpol telah mengeluarkan "peringatan merah" bagi penangkapan Aung Win Khine, tetapi dia sepertinya lolos atau memang dilindungi. Tiga pria yang diajukan ke pengadilan sebelumnya adalah anggota militer. Hanya si penembak bayaran, penyelundup barang antik dari Mandalay bernama Kyi Lin, yang sepertinya tidak memiliki kaitan dengan militer. Pada tahun kedua peringatan meninggalnya Ko Ni, teman, keluarga dan diplomat asing memenuhi lantai atas rumah makan di Yangon untuk merayakan kehidupannya dan menuntut penegakan keadilan. Aung San Suu Kyi, yang tidak menghadiri pemakaman pada tahun 2017 dan hanya sedikit berkomentar terkait dengan pembunuhan temannya, muncul lewat pesan video menuntut pengungkapan kebenaran. Duta besar Amerika Serikat, Scot Marciel, hadir dalam acara tersebut. Sebelumnya, saya menanyakan apakah dia memandang pembunuhan tersebut menunjukkan bahwa angkatan darat masih berkuasa. "Militer tetap sangat berkuasa dan budaya impunitas tetap sangat kuat dan itu sangatlah mengkhawatirkan," katanya. "Jelas ini perlu diatasi jika Myanmar ingin berhasil." Saya bertanya apakah terdapat harapan bahwa keadilan akan ditegakkan pada kasus ini. "Ini benar-benar ujian bagi sistem Myanmar, apakah setelah bertahun-tahun pelanggaran hak asasi manusia tidak dihukum, maka sekarang keadilan akan ditegakkan." Keputusan sekarang sudah dikeluarkan dan - meskipun empat vonis sudah dibacakan - hanya sedikit yang mempercayai tindakan ini mewakili penegakan keadilan. Di negara di mana seorang arsitek utama masa depan yang lebih adil telah dibunuh dan sistem yang diperjuangkannya untuk diubah tetap berjalan. (BBC)

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT