ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Oleh S Saiful RahimRASANYA bukan Dul Karung kalau masuk tanpa mengucapkan assalamu alaykum lebih dulu. Demikian pula hari itu. Hanya, bila biasanya sebelum wajahnya terlihat suara salamnya sudah masuk ke warung kopi Mas Wargo, kali ini nyaris bareng. Suara terdengar, tampang pun terpampang dengan sedikit basah. “Kehujanan ya?” tanya orang yang duduk di dekat pintu masuk seraya bergeser berbagi tempat. “Ya kehujananlah! Kalau kebakaran rambut dan pakaianku hangus, bukan basah!” jawab Dul Karung agak ketus. Tapi beberapa hadiran yang mendengar justru tertawa. Mas Wargo tanpa diminta menyodorkan segelas teh panas manis dan kental kesukaan Dul Karung. Tapi Si Dul mencomot singkong goreng yang masih kebul-kebul dulu, baru menerima teh sodoran sang pemilik warung. “Inilah risiko kita bertanah air,” kata Dul Karung membuat semua orang yang ada di dalam warung jadi terperangah. “Maksudmu apa mengatakan ini risiko orang yang bertanah air?” tanya orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang. “Kita semua kan mengaku dan merasa bertanah air,” kata Dul Karung sambil memandang wajah lawan bicaranya satu persatu. “Kalau bertanah air tapi tidak punya sejengkal pun tanah seperti Mas Wargo, yang dengan terpaksa membangun warung di antara got dan jalanan. Juga seperti saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang tinggal dalam gubuk-gubuk yang dibangun di atas tanah liar entah milik siapa. Atau mereka yang tinggal di gubuk-gubuk Nah, semua itulah orang-orang yang bertanah air tetapi tidak punya tanah. Nah, kan tinggal punya air saja. Maka banjirlah di mana-mana,” sambung Dul Karung asal bunyi. Lalu dengan agak jemawa dia menyeruput tehnya yang justru lebih banyak airnya pula. “Benar juga apa yang diucapkan Dul Karung itu. Bila bertanah air, namun tidak memiliki tanah, ya tinggal airnya sajalah. Tapi berbeda dari tahun-tahun yang lampau, banjir kali ini rasanya dahsyat nian,” kata seseorang yang duduk di ujung kanan bangku panjang, yang dari logatnya mudah diketahui bahwa dia orang seberang pulau Jawa. “Beberapa hari yang lalu kubaca di koran, di Puncak dan sekitarnya banyak sekali vila milik para jenderal. Bahkan ada beberapa jenderal yang punya lebih dari satu vila. Kalau hutan-hutan dan daerah resapan air di Puncak dijadikan vila dan sejenisnya, tunggu saja sebentar lagi Pulau Jawa karam,” tanggap orang yang duduk selang tiga di kanan Dul Karung. “Yang bikin aku bingung adalah bupati yang ditangkap KPK bersama 23 mobil dan 8 sepeda motor mewah. Tinggalnya saja di Hulu Sungai Tengah, kalau banjir mobil dan sepeda motor kan gak ada gunanya. Namanya tinggal di hulu sungai, lebih baik uangnya dibelikan perahu. Kalau banjir kan perahunya dapat dimanfaatkan untuk menolong para warganya. Insya Allah bisa mengurangi dosa,” kata Dul Karung sambil meninggalkan warung. ([email protected] )
ADVERTISEMENT
Berita Terkait
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berita Terkini
ADVERTISEMENT
0 Komentar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT