Obrolan Warteg: Masalah Klasik Pilkada (Sumber: Poskota/ Yudhi Himawan)

Nah Ini Dia

Obrolan Warteg: Masalah Klasik Pilkada

Kamis 27 Feb 2025, 07:00 WIB

Ditemukan tujuh masalah klasik dan berulang dalam pilkada serentak tahun lalu. Ketujuh masalah tersebut adalah politik berbiaya tinggi, politik uang, keberpihakan, ketidaknetralan ASN, sentralisasi rekomendasi pencalonan, manipulasi suara dan profesionalitas dan netralitas penyelenggara pemilu.

Seperti diberitakan, hal ini dikatakan pakar kepemiluan UI, Titi Anggraini saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025.

Kita sepakat hal itu harus dihilangkan pada pemilu mendatang karena dapat mencederai demokrasi pemilu, selain menimbulkan kecurangan sehingga tak jarang harus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).

“Aneh ya,  biasanya yang klasik – klasik digandrungi karena memiliki nilai lebih, barang bermutu. Loh ini yang klasik tidak bermutu dalam pemilu malah tetap diulangi,” kata bung Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan bang Yudi.

“Betul juga yang klasik – klasik dicari karena memiliki nilai sejarah  yang tinggi. Artinya tersembul kebaikan, bukan keburukan,” tambah Yudi.

“Iya juga disebut klasik karena punya nilai lebih sebagai tolok ukur peradaban manusia baik di bidang sastra,seni dan budaya,” urai mas Bro.

“Coba kasih contohnya yang klasik banyak digandrungi,” tanya Heri.

“Banyak. Sebut saja seni klasik, kebaya klasik, lagu – lagu klasik, rumah bergaya klasik, bangunan klasik bernilai sejarah. Mungkin saja banyak yang suka wajah klasik,” jelas mas Bro.

“Barang klasik biasanya susah dicari, harganya pun mahal,” kata Yudi.

“Lantas kalian suka yang klasik, apa modern,” tanya Heri.

“Kalau sebagai pendamping hidup suka yang berwajah klasik,” kata Yudi.

“Kok bisa?” tanya Heri lagi.

“Klasik itu sulit dicari, selain lebih natural, juga tampak anggun, keibuan,” kata Yudi.

“Kalian ini ngelantur bahas wajah klasik. Kembali ke topik awal, gimana itu soal yang klasik dalam pemilu seperti pilkada berbiaya tinggi,” kata mas Bro.

“Kalau politik berbiaya tinggi tidak terbantahkan. Masalahnya biaya tinggi, tetapi tidak mengurangi jumlah peminat, malah terlihat semakin banyak,” kata Heri.

“Itu karena makin banyak pula orang yang menjadi pejabat. Wajar saja, setiap orang ingin naik statusnya. Awalnya jadi staf ingin jadi kepala bagian, kepala dinas, dan seterusnya hingga menjadi bupati atau wali kota,” kata Yudi.

“Yang dulunya pengusaha, ingin lebih berkuasa di pemerintahan dan masih banyak lagi. Pilkada ke depan, makin beragam dan banyak lagi calonnya,” ujar Heri.

“Nggak masalah, asal jalannya baik dan benar. Jangan menyebar uang membeli suara. Tidak mempolitisasi ASN untuk memenangkan pilkada. Jangan pula sok kuasa karena uangnya tak berseri,” ujar mas Bro. (Joko Lestari).

Tags:
pemungutan suara ulang (PSU)pemilupilkada serentakmasalah klasik

Tim Poskota

Reporter

Ade Mamad

Editor