BEKASI, POSKOTA.CO.ID - Bari, 40 tahun, warga sekaligus perwakilan developer Cluster Setia Mekar, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, menceritakan eksekusi pengosongan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Cikarang, meski memiliki sertifikat hak milik (SHM).
Menurutnya, polemik ini terjadi dari kepemilikan surat tanah terdahulu. Pada tahun 1990, SHM bernomor 325 seluas 3,6 hektare itu dimiliki oleh seseorang bernama Juju. Oleh Juju, tanah tersebut dibeli oleh Hamid.
Saat transaksi itu, Hamid mengalami ketidaktertiban membayar. Bahkan, diduga Hamid membawa dokumen saat perjanjian jual beli. Hamid kemudian menunjuk rekannya Bambang untuk memasarkan tanah tersebut.
Sebagai mediator, Bambang bertemu dengan pembeli yang diketahui, bernama Kayat.
Baca Juga: Seusai Dieksekusi, Rumah di Cluster Setia Mekar Tambun Tak Berpenghuni
"Singkatnya lunas, antara Kayat atas pembelian tanah itu. Dibuatlah akta jual beli oleh Juju, dan balik nama sertifikat 325 kepada Kayat," kata Bari ketika dikonfirmasi, Senin, 3 Februari 2025.
Bari menjelaskan, Kayat membeli tanah itu bukan untuk ditempati, melainkan untuk dijual kembali. Saat akan dipasarkan, rupanya Kayat kesulitan mencari pembeli. Sehingga luas tanah tersebut, akhirnya dipecah dengan sejumlah nomor sertifikat.
Dua nomor sertifikat, 704 dan 705 kemudian dibeli oleh seseorang bernama Toenggol Paraon Siagian.
"704 seluas 2,4 hektare dan 705 seluas 3100 meter persegi. Kemudian balik nama dari Kayat menjadi Toenggoel," ucap dia.
Baca Juga: Gunakan Pesawat Cassa 212-200, BPBD Jakarta Tebarkan Garam untuk Modifikasi Cuaca
Setelah mencoba mencari informasi, rupanya tahun 1996, terdapat ahli waris dari Hamid, yakni Mimi Jamilah. Mimi kemudian mengajukan gugatan ke sejumlah orang, antara lain, Bambang, Kayat, Juju, dan Toenggoel atas kepemilikan lahan tersebut.
"Dasar gugatannya (Mimi), ada (punya) Akta Jual Beli (AJB), antara Juju dengan Hamid," kata dia.
Setelah menempuh di tingkat Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Tinggi hingga Kasasi, pada 2002 terjadi perdamaian antara Mimi dengan para tergugat.
Setelah perdamaian itu, hingga 2019 tidak ada gembar-gembor terkait lahan dan tanah. Pada 2019, Bari membeli tanah dengan sertifikat 705, seluas 3500 meter persegi dari Toenggoel.
Ia mengatakan, saat membeli tanah, tidak ada kecacatan dokumen, bahkan ia telah melakukan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi.
"Saya cek sertifikat dalam keadaan clear and clean. Saya cek sertifikat di BPN on semua, tidak ada masalah," ujar Bari.
Setelah transaksi dengan Toenggoel, ia melakukan proses balik nama hingga memecah tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) 705, menjadi 27 bidang.
Untuk memasarkan unit bidang itu, sejumlah bank berplat merah menjadi fasilitator menampung para konsumen melakukan pengajuan kredit.
"Kemudian balik nama kepada debiturnya kemudian pasang HT (Hak Tanggungan)," ucapnya.
Pada 18 Desember 2024, ia menerima surat eksekusi dari PN Cikarang, dan meminta dilakukan pengosongan. Bari mengaku kaget, sebab bukti SHM yang dimilikinya merupakan dokumen yang sah.
"Kita kaget hanya diberikan jeda satu bulan. Sementara kita tidak tahu duduk perkaranya," ucap dia.
Bari dan sejumlah perwakilan warga sempat menempuh audiensi dengan PN Cikarang. Jawaban yang saat itu diterima, PN Cikarang hanya melakukan eksekusi, karena perkara sudah terjadi di PN Bekasi.
"Kami menerima pelimpahan eksekusi berdasarkan putusan 128," katanya.
Eksekusi pengosongan lahan dalam perkara ini dilakukan berdasarkan delegasi dari Pengadilan Negeri Bekasi. Tindakan tersebut merujuk pada putusan awal dengan Nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS yang ditetapkan pada 25 Maret 1997.