JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Aktivis perempuan, Anita Dhewy menyoroti Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian menuai polemik.
Menurutnya, saat ini sudah tidak relevan lagi perihal praktik poligami dibahas dan sikap gerakan sudah sangat jelas menolak poligami.
"Ini sebuah kemunduran. Karena kalau kita ngomongin soal poligami dari zaman dulu ketika Kongres Perempuan Indonesia yang pertama itu di tahun 1928 itu sudah dibahas dan gerakan perempuan itu menolak poligami," tegas Pemred Jurnal Perempuan itu kepada Poskota, Jumat, 17 Januari 2025.
Kemudian Anita Dhewy juga mempertanyakan cantolan hukum dari Pergub Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian yang baru saja diterbitkan itu.
Baca Juga: Identifikasi Jenazah Korban Kebakaran Plaza Glodok, RS Polri Lakukan Tes DNA
Sebenarnya, kata dia, pemerintah juga sudah memiliki aturan-aturan yang mendorong upaya memposisikan perempuan dan laki-laki itu setara.
"Jadi kalau kita mau ngomong Pergub terbaru ini, cantolan hukumnya itu apa? Dimana? Seperti itu. Sikap gerakan perempuan itu kan dari dulu itu sudah menolak (poligami)," kata Anita.
Di samping itu, kata Anita, Pergub yang diterbitkan oleh Pj Gubernur Jakarta Teguh Setyabudi itu kemungkinan bertentangan dengan sejumlah aturan di level atas yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Yakni aturan yang mendorong upaya kesetaraan laki-laki dan perempuan di Indonesia.
Padahal, kata Anita, semuanya mengetahui kalau aturan-aturan di level bawah itu harus mengacu pada keputusan pemerintah pusat. Ditambah, Indonesia sendiri sudah meratifikasi konvensi CEDAW atau penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Baca Juga: Pemprov Jakarta Izinkan Poligami untuk ASN, Simak Aturannya
Konvensi CEDAW adalah perjanjian internasional yang bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tahun 1981.
"Jadi seharusnya aturan-aturan yang di bawahnya juga merujuk ke aturan-aturan yang di atasnya. Terus ini (Pergub Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian) kan juga melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan gitu," ucap Anita.
Anita berpandangan, bahwa poin dari Pergub Nomor 2 Tahun 2025 berangkat dari asumsi bahwa yang bisa melakukan poligami itu adalah aparatur sipil negara (ASN) laki-laki. Hal itu berdasarkan syarat-syarat yang hampir sama dengan aturan yang membahas soal poligami di Undang-undang Perkawinan.
"Undang-undang Perkawinan itu kan di tahun 1972 dan itu sudah harus diperbarui. Kita sudah ada aturan-aturan terbaru yang lebih memperhatikan aspek-aspek kesetaraan, keadilan. Jadi ini tuh sudah basi, sudah enggak zamannya," keluh Anita.
Di samping itu, selama ini praktik-praktik poligami rentan atau kerap memunculkan permasalahan dalam rumah tangga. Mulai dari persoalan ekonomi, penelantaran, hingga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Sebab di satu sisi masyarakat Indonesia masih hidup dengan kultur patriarki yang kuat. Sehingga budaya patriarki yang kuat tersebut lebih banyak memberi hak istimewa kepada laki-laki.
"Seperti yang tercermin dalam persyaratan, itu seolah-olah ketika pasangan tidak bisa punya anak itu penyebabnya si istri. Padahal kan tidak seperti itu, tapi dua pihak itu memiliki peluang," ucapnya.