Muhammad Safyyudin (kanan) dan Andi, berada di atas kapal di lokasi bersandar kapal perikanan Muara Angke, Jakarta Utara, Jumat, 3 Januari 2025. (Sumber: Poskota/Angga Pahlevi)

SUDUT KOTA

Nasib Nelayan Muara Angke Ditanduk Cuaca Buruk

Sabtu 04 Jan 2025, 11:13 WIB

POSKOTA.CO.ID - MUHAMMAD Safyyudin termenung di atas kapal layar yang bersandar di dermaga perikanan Muara Angke, Jakarta Utara, Jumat, 3 Januari 2025 siang. Tatapan nelayan berusia 23 tahun itu tertuju jauh ke arah bentangan laut yang menjadi sumber nafkahnya.

Berhari-hari sudah, perahu Safyyudin bersandar di tepi. Dia terpaksa tidak melaut akibat cuaca buruk angin Barat Laut dan air pasang. Para nelayan lain pun mengalami keadaan serupa. Dampaknya, hasil tangkapan ikan mereka pun menurun drastis.

"Kebetulan ini kita baru bersandar setelah selama tujuh bulan berlayar mengitari perairan Indonesia sampai perbatasan perairan Papua Nugini untuk menjaring ikan," kata nelayan asal Muaragembong, Kabupaten Bekasi itu, kepada Poskota di atas Kapal KM Cipta Karya 3.

Safyyudin mengatakan, saat cuaca buruk seperti ini, hanya sedikit ikan yang bisa diperoleh. Apalagi untuk perahu-perahu kecil dengan kapasitas lima ton ikan. Berbahaya jika tetap dipaksakan untuk berlayar.

Baca Juga: Warga Jakarta Utara Terpaksa Manfaatkan Air Keruh PAM Jaya

Adapun kapal yang digunakan Safyyudin mampu memuat 180 ton. Meski masih bisa berlayar dengan kapal tersebut, dia tak mau ambil risiko. Sebab, kalau tetap berlayar, ikan tangkapannya dapat dipastikan sedikit. Hanya bisa buat menutup kebutuhan hidup sehari-hari untuk keluarganya di rumah.

Dia menuturkan, jika air laut sedang pasang dan diperparah angin Barat Laut, sebagian besar nelayan lebih memilih tidak berlayar. Hanya sebagian kecil yang memutuskan tetap melaut, tentu dengan segala risiko.

"Ada juga yang memaksakan untuk melaut tapi dampaknya tangkapan ikan kurang. Yang biasa dapat 80 persen ikan, tapi kalau dipaksakan cuma 20 persen ikan yang didapat. Arus di laut juga deras. Berdampak ikan-ikan tidak ada atau cuma sedikit. Kalau dijual harganya murah, pasti rugi," katanya.

Safyyudin sudah menekuni profesi nelayan sejak empat tahun lalu, atau saat menginjak usia 19 tahun. Sewaktu SMA, ia ikut mencari ikan bersama sang ayah yang bekerja sebagai nelayan rajungan dan udang. "Waktu SMA sudah bisa cari uang sendiri, dapat Rp50 ribu lebih sehari dari hasil nelayan," ujar putra pertama dari pasangan Warsim dan Satina ini.

Baca Juga: Cuaca Buruk, Penyebrangan ke Kepulauan Seribu Dihentikan

Berbekal pengalaman yang dimilikinya, Safyyudin sudah mengetahui kapan waktu yang tepat untuk melaut dan tidak. Dia menjelaskan, waktu berlayar yang tepat untuk mencari ikan dalam kondisi cuaca normal adalah sore hari sekitar pukul 16.00 WIB dan pagi hari pukul 08.00 WIB sampai 09.00 WIB. Ia juga mengungkapkan, hal penting pertama untuk melaut adalah kemampuan membaca cuaca. Juga dibutuhkan keberanian untuk berlayar, karena risikonya nyawa.

Sebelum berlayar, Safyyudin juga menyiapkan berbagai kebutuhan selama melaut. Di antaranya beras, mi instan, kopi, cemilan, sayur-mayur, dan bumbu dapur. Termasuk kotak berobat P3K untuk jaga-jaga jika ada Anak Buah Kapal (ABK) yang sakit.

Beberapa waktu lalu, ketika berada di tengah laut dan ingin kembali ke Muara Angke, Safyyudin dihadapkan pada ombak besar hingga ketinggian 6 meter. Dia dan krunya pun bersandar di perairan Makassar, Sulawesi Selatan, menunggu waktu yang tepat untuk pulang.

"Risiko yang akan kami hadapi besar. Apalagi jika terkena sakit, susah cari pengobatan. Seadanya saja obat yang dibawa karena jauh dari pulau," kata dia.

Ada pengalaman tersendiri saat dirinya berlayar di Samudera selama berbulan-bulan. Sebab, sejauh mata memandang hanyalah lautan lepas, tiada suara bising kendaraan. "Ikan yang bisa ditangkap jika keadaan normal bisa mencapai 180 ton untuk semua jenis ikan, sampai ikan hiu dan ada ikan besarnya segede orang dewasa," jelasnya.

Namun ia juga pernah mengalami pengalaman buruk, yaitu diganggu perompak dan bahkan oknum petugas perairan yang meminta ikan tangkapan. "Pernah menghadapi perompak yang menggunakan perahu kecil, mereka minta ikan. Juga oknum petugas perairan bermodus pengecekan surat-surat tapi malah minta ikan," ujarnya.

Ketika berlayar ke perairan Papua, Safyyudin hanya mendapatkan sinyal komunikasi di tiga pulau, yakni Mandalika, Makassar, dan Pulau Enu. Selama di atas kapal, yang menjadi panduan selama berlayar antara lain Kompas dan sistem pemosisi global (GPS) dengan radius lima sampai sepuluh mil.

Pada waktu tertentu saat berlayar, Safyyudin tidak bisa memejamkan mata untuk tidur selama tiga hari. Ini terjadi kalau sedang banyak ikan di laut. "Kalau lagi banyak ikan, kita enggak bisa tidur tiga hari, karena harus terus menarik jaring. Juga jika turun hujan, seluruh kru istirahat di dek kapal sambil ditutupi plastik. Meski tidak nyaman tapi dinyaman-nyamankan," kata dia.

Kini, Safyyudin beserta 14 kru dan seorang kapten, hanya mengisi kegiatan bongkar muat tanpa melaut. Di waktu-waktu ini jugalah, mereka bisa menjalin komunikasi yang intensif dengan keluarganya.

"Paling jika tidak berlayar, seluruh kru mengisi kesibukan dengan bongkar muat kapal dari segala keperluan, mulai dari kebutuhan logistik, Bahan Bakar Minyak (BBM), sama telponan dengan keluarga," tuturnya.

Terpisah Andi, 25 tahun, nelayan asal Indramayu Jawa Barat, bertahun-tahun berlayar ke laut untuk menangkap ikan agar bisa menghidupi keluarga di kampung. Istri dan satu anaknya berada di kampung di daerah Indramayu, Jawa Barat. Dia setiap tujuh bulan sekali berlayar mencari ikan. Jika sudah bersandar, baru bisa mengirim uang ke kampung.

"Itu juga dari hasil penjualan ikan yang ditangkap dijual. Ya kadang-kadang dapat ikan, juga kadang tidak dapat. Sesuai musim saja. Jika lagi cuaca buruk seperti sekarang agak sulit mendapatkan ikan," ucapnya.

Tags:
cuaca buruktidak melautnelayanJakarta UtaraMuara Angke

Angga Pahlevi

Reporter

Firman Wijaksana

Editor