Kopi Pagi: Kikis Ego Kelompok. (Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Kikis Ego Kelompok

Senin 16 Des 2024, 07:59 WIB

Pengantar: Gelaran pilkada menyisakan banyak catatan yang berujung konflik, jika tak segera diselesaikan. Menghapus ego kelompok dengan membangun kesetaraan, setidaknya menjadi resolusi konflik pilkada. Kedua hal tersebut, kami sajikan di kolom ini pada Senin dan Kamis pekan ini. ( Azisoko).

“Ego kelompok tidaklah elok di tengah upaya memperkokoh kerukunan dan persatuan guna mengatasi kian beragamnya tantangan. Para elite politik perlu memberi teladan,bukan terkesan membiarkan kian solidnya ego kelompok pendukungnya.. “

-Harmoko-

Akhir tahun 2024 ini hendaknya menjadi momen tepat mengakhiri beragam konflik politik, utamanya konflik dalam menyikapi hasil pilkada serentak yang mulai menggeliat.

Respons cepat perlu dilakukan guna menyelesaikan, agar konflik tidak semakin melebar dan berkepanjangan. Setidaknya akhir tahun ini dapat dieliminir sehingga tidak mengganggu estafet kepemimpinan di daerah yang dimulai awal  tahun depan.

Itulah perlunya resolusi konflik pilkada yang implementasinya harus dilakukan sekarang, bukan harus menunggu tahun depan sebagaimana lazimnya resolusi menyongsong tahun baru 2025.

Mengapa? Jawabnya setidaknya terdapat dua alasan. Pertama, kepala daerah terpilih hasil pilkada akan dilantik serentak awal Februari 2025. Dijadwalkan gubernur dan wakil gubernur dilantik 7 Februari, sedangkan bupati dan wali kota pada 10 Februari 2025.

Situasi kondusif yang bebas konflik perlu diciptakan menyongsong pemerintahan baru di 545 daerah hasil hasil pilkada serentak.

Kedua, sesama peserta pilkada perlu saling menghargai dan menghormati serta menahan diri tidak tersulut api konflik dengan memberikan ruang kepada Mahkamah Konstitusi (MK) menyelesaikan sengketa hasil pilkada.

Untuk menuju ke sana, setidaknya terdapat dua tawaran menyelesaikan konflik pilkada, yakni menyingkirkan ego kelompok serta membangun kesetaraan sesama kontestan.

Ego kelompok dimaksud, adanya kehendak mementingkan kelompoknya, kubunya, dorongan untuk keuntungan kelompoknya, hasrat menjadikan kelompoknya sebagai pusat pemikiran, menilai segalanya dari sudut pandang kelompoknya- kubunya.

Acap menutup diri atas kebenaran yang datang dari kubu lain- lawan politiknya.

Acap pula pula menyalahkan pihak lain untuk mencari pembenaran bagi kelompoknya.

Tak jarang ego kelompok dipertontonkan secara terbuka, menjadi semacam primadona eksistensi jati diri meski tak selaras dengan etika dan moral. Terlihat kian viral tak hanya di dunia maya, juga mencuat di dunia nyata.

Cukup beralasan sekiranya para ahli, pengamat, hingga pejabat negeri senantiasa berpesan untuk membuang jauh sifat ego kelompok. Sering terjadi ego kelompok dapat berakhir bentrok, konflik berkepanjangan yang menutup alur toleransi dan harmonisasi.

Sementara kita tahu, intoleran politik yang kian menajam bisa mengukir perseteruan dan embrio pembelahan.

Yang perlu kita bangun adalah narasi kerukunan, bukan perpecahan dan pembelahan, apalagi permusuhan yang tiada berkesudahan.

Perlu mengembangkan narasi kedamaian, bukan konflik dan kebencian.

Bukankah “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” – rukun membuat sentosa dan kokoh, sedangkan bertengkar membuat rusak dan menimbulkan kehancuran.

Terasa ego kelompok tidaklah elok di tengah upaya memperkokoh kerukunan dan persatuan guna mengatasi kian beragamnya tantangan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Ini dapat terwujud, jika para elit politik memberi teladan, bukan menambah kegaduhan karena terkesan membiarkan kian solidnya ego kelompok pendukungnya, simpatisannya dan relawannya. Lebih-lebih jika tersembunyi kepentingan dirinya, keluarganya, kerabat dekatnya.

Itulah sebabnya sifat ego perlu diasah melalui akal budi yang kita miliki agar ucapan dan perilaku perbuatan, sejalan dengan lingkungan yang acap berpedoman kepada lima hal : adat, budaya, etika, moral dan normal sosial.

Para kepala daerah hasil pilkada serentak yang memulai tugasnya awal tahun depan, tahun yang penuh beragam tantangan itu, hendaknya kian memperbanyak dan memaksimalkan ruang-ruang partisipasi dalam menyelesaikan konflik secara bersama-sama.

Tujuannya, merobohkan dinding pemisah antara kelompok yang satu dengan lainnya, kadang dinarasikan kelompok pro dan kontra yang terbentuk akibat mengkristalnya ego kelompok, karena, boleh jadi, merasa mendapat  perlindungan, adanya dukungan “kekuasaan” dan “pendanaan”.

Mari kita kikis ego kelompok dengan membangun kesetaraan. Soal kesetaraan kami coba ulas pada edisi Kamis (19/12/2024) pekan ini. (Azisoko).

Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari. 

Tags:
Pilkadakonflikego kelompokresolusi konflikkonflik politik

Administrator

Reporter

Ade Mamad

Editor