Kejagung Tegaskan Hanya Fokus Tangani Kasus Impor Gula Era Tom Lembong Saja

Kamis 31 Okt 2024, 18:46 WIB
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar

POSKOTA.CO.ID - Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) kini tengah fokus menyelidiki kasus dugaan korupsi impor gula yang terjadi di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015-2016, era Menteri Perdagangan Tom Lembong.

Hal ini menjawab banyaknya desakan mengenai usut tuntas kasus-kasus lainnya yang berpotensi adanya dugaan korupsi di erah menteri perdagangan lainnya.

"Yang kita tangani merupakan dugaan tindak pidana dalam importasi gula tahun 2015--2016. Menurut hukum acara, harus fokus di situ, sesuai dengan surat penyelidikan," jelas Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis 31 Oktober 2024.

Seperti diketahui, Kejagung telah menetapkan dua tersangka dalam kasus tersebut, yaitu Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan periode 2015-2016 serta CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

“Tempusnya kan 2015–2016. Penyelesaian tindak pidana manapun itu harus menurut hukum acara yang berlaku. Apa dasarnya? Surat perintah. Surat perintah apa? Surat perintah penyidikan terkait perkara ini. Ya harus fokus di 2015–2016,” ujarnya.

Namun dirinya pun mempersilahkan masyarakat agar melaporkan apabila ditemukan adanya bukti-bukti yang mengarahn dengan kasus tersebut.

"Kalau ada indikasi, ada pendapat, ada pandangan yang diduga di luar tahun ini (periode 2015--2016), silakan dilaporkan kami akan siap mengkajinya," bebernya.

Tentunya pihaknya pun akan menjalankan sesuai prosedur yang berlaku. "Berdasarkan tahapan-tahapan SOP (prosedur operasional standar) yang ada, tentu kita akan melakukan gelar perkara sampai pada tahap ada dugaan tindak pidana, sehingga ditingkatkan ke tingkat penyidikan," tambahnya.

Diberitakan sebelumnya, Kejagung mengungkap bahwa keterlibatan Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015–2016 karena memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk diolah menjadi gula kristal putih.

Padahal, dalam rapat koordinasi (rakor) antarkementerian pada 12 Mei 2015 disimpulkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus gula, sehingga tidak memerlukan impor gula.

Selain itu, persetujuan impor yang dikeluarkan itu juga tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.

Pada 28 Desember 2015, dalam rakor bidang perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian, dibahas bahwa Indonesia pada tahun 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.

Pada November–Desember 2015, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.

Pertemuan itu guna membahas kerja sama impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih.

Kemudian Januari 2016, tersangka Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT PPI yang pada intinya menugaskan perusahaan tersebut untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional.

Sekaligus stabilisasi harga gula melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih sebanyak 300.000 ton.

Selanjutnya, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan tersebut. Kejagung mengatakan bahwa seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung dan yang hanya dapat melakukan impor adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT PPI.

Akan tetapi, dengan sepengetahuan dan persetujuan tersangka Tom Lembong, persetujuan impor gula kristal mentah itu ditandatangani. Delapan perusahaan yang ditugaskan mengolah gula kristal mentah itu sejatinya juga hanya memiliki izin untuk memproduksi gula rafinasi.

Hasil gula kristal putih yang diproduksi delapan perusahaan tersebut kemudian seolah-olah dibeli oleh PT PPI. Padahal, gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan melalui operasi pasar.

Dari praktik tersebut, PT PPI mendapatkan upah sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan yang terlibat.

Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp400 miliar, yakni nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik BUMN atau PT PPI.

Berita Terkait

News Update