JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kericuhan yang terjadi pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Masa Sidang V Tahun Sidang 2023-2024, diduga kuat terjadi karena adanya agenda kepentingan oleh kelompok oknum senator.
Sejumlah senator mengajukan interupsi pada awal rapat saat Ketua DPD RI, La Nyalla Mahmud Mattaliti akan melakukan pengesahan Tata Tertib (Tatib) DPR RI untuk periode 2024-2029 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 12 Juli 2024.
Interupsi dari para senator tak diindahkan oleh La Nyalla dan pada akhirnya membuat sidang memanas dan berujung ricuh. Sejumlah senator yang tak menyetujui pengesahan tersebut kemudian mendatangi meja pimpinan DPD RI, hingga terjadinya aksi merebut mic yang digunakan La Nyalla saat memimpin sidang.
Menanggapi hal itu, Pengamat Pemerintahan sekaligus Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi mengatakan apa yang telah dilakukan La Nyalla saat memimpin sidang dan fungsi sebagai ketua sudah tepat.
"Dugaan saya, ini memang ada oknum senator yang membuat ricuh persidangan karena tak menyetujui pengesahan Tatib," ujar Muslim saat dihubungi Poskota via sambungan telepon, Senin, 15 Juli 2024.
Permintaan pengesahan Tatib DPD RI periode 2024-2029 ini dianggap Muslim sudah melalui prosedur yang seharusnya. Sebab, materi dan agenda sidang tentu tidak muncul begitu saja.
Untuk materi dan agenda sidang, ucap Muslim, tentu sudah diawali dengan Rapat Pimpinan (Rapim) sebelum digelarnya sidang paripurna.
"Tentu di dalam Rapim ini, dibahas pokok materi yang akan dibahas dalam Sidang Paripurna. Selanjutnya, hasil dari pembahasan ini akan dibahas ke tingkat Panitia Musyawarah (Panmus)," kata dia.
Menurutnya, dalam agenda pembahasan materi di tingkat Panmus ini tentu dihadiri oleh pimpinan DPD RI dan pimpinan alat-alat kelengkapan yang ada. Sehingga, dalam rapat Panmus ini sudah representasi semua anggota.
"Seharusnya semuanya sudah beres. Sehingga tidak ada penolakan atas agenda yang dibacakan oleh Ketua DPD RI pada saat sidang," ucapnya.
Dugaan Adanya Kepentingan
Terkait kericuhan yang terjadi saat sidang, kata Muslim, boleh disimpulkan ada oknum yang diduga sengaja menggagalkan agenda pengesahan materi Tatib baru DPD RI yang telah rampung digodok di tingkat Rapim dan Panmus.
"Patut diduga karena ada pasal yang menghalangi beberapa orang (senator) untuk dapat maju menjadi pimpinan," ucapnya.
Pasal yang dimaksud yaitu Pasal 91 Ayat (5) huruf b, yang menyatakan bahwa calon pimpinan DPD RI tidak pernah melakukan pelanggaran tata tertib dan kode etik yang ditetapkan dengan keputusan Badan Kehormatan (BK).
Muslim mengatakan, pasal tersebut dinilai baik untuk keberlangsungan good governance. Harusnya, para senator mendukung pasal tersebut bukan malah menolaknya dengan membuat kericuhan saat pelaksanaan sidang.
"Mereka-mereka yang membuat kericuhan ini harusnya dipanggil oleh Badan Kehormatan (BK). Sebab ini merupakan pelanggaran etik. DPD menjadi rusak image-nya dengan adanya kericuhan yang seharusnya tidak perlu terjadi," tuturnya.
Yang ia sayangkan, sejumlah senator yang menolak agenda sidang dengan dalil jika tatib harus hasil finalisasi Tim Kerja (Timja) atas hasil Panitia Khusus (Pansus), merupakan mantan menteri dan mantan gubernur.
Dengan pernah menjabat di level eksekutif, seharusnya para senator-senator tersebut paham bagaimana alur dan prosedur pembahasan materi sidang.
"Masa yang begitu saja enggak paham. Jadi, saya mencurigai memang ada kepentingan dan agenda dari sejumlah oknum senator (yang menolak). Bukan untuk kepentingan bangsa dan negara tapi untuk kepentingan pribadi," ucapnya.
Jika penolakan terus terjadi di sidang yang akan datang, menurut hematnya dipastikan Tatib baru akan tetap disahkan. Sebab Tatib yang disusun oleh Pansus tersebut sudah rampung dibuat.
"Hasilnya sudah disampaikan di Sidang Paripurna 5 April lalu. Dan kemudian disepakati akan difinalisasi oleh pimpinan melalui Timja yang dibentuk. Timja ini merupakan alat sah yang bersifat ad-hoc karena dasar hukum pembentukan Timja ini ada dalam Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 di Pasal 42 Ayat 6." ucapnya.
Sementara itu Anggota DPD RI asal Aceh, Fachrul Razi mengatakan bahwa kericuhan yang terjadi pada saat sidang karena ada dua persoalan. Yang pertama yaitu terkait tentang Tatib dan yang kedua mengenai pencalonan pimpinan DPD menggunakan mekanisme paket.
Mengenai Tatib, Fahcrul menyebut jika banyak pihak yang mengganggap sudah sah lantaran sudah sesuai mekanisme Tatib DPD sebelumnya. Sementara yang lainnya mengatakan tidak sah.
"Tatib ini dibuat melalui Panitia Khusus (Pansus). Pansus bekerja dua tahap. Tahap pertama sembilan bulan dan yang kedua tiga bulan," kata dia kepada Poskota.
Di Sidang Paripurna sebelumnya, menyepakati Tim Pansus dibubarkan dan Tatib sementara diterima versi Pansus dan diambil alih oleh Pimpinan sesuai perintah Tatib.
"Perintah Tatib ini menyebutkan di mana pimpinan dapat mengambil pekerjaan Pansus yang belum selesai harus diselesaikan melalui Timja," katanya.
Timja dibentuk saat Sidang Paripurna lalu untuk menyelesaikan draft Tatib yang baru. Namun, saat Sidang Paripurna pekan lalu, ada beberapa poin di dalam Tatib yang ditolak oleh sejumlah senator dan tidak setuju jika Tatib tersebut disahkan saat itu juga.
Padahal, dalam rapat Panmus yang dilaksanakan sehari sebelum Sidang Paripurna pada Jumat, 12 Juli 2024, digelar, sudah diberi kesempatan untuk mencermati poin-poin Tatib yang baru.
Menurutnya, Tatib yang dibacakan oleh La Nyalla sudah sah menjadi Tatib. Hanya sedikit secara aturan menurut Tatib lama, harus melalui harmonisasi melalui Panitia Perancung Undang-Undang (PPUU) DPD RI.
"Artinya, di Panmus sudah memutuskan agenda-agenda yang akan dibacakan di Paripurna. Salah satunya adalah ggenda pembacaan hasil Pansus dan pembacaan hasil Timja," kata dia.
Timja, ujar dia, bekerja hanya merapikan dan merevisi pasal-pasal yang bertentangan dengan aturan-aturan yang lebih tinggi. Sehingga, Timja tidak mengubah draft yang telah dikerjakan oleh Pansus. Termasuk mengenai mekanisme paket pencalonan pimpinan atau Ketua DPD RI ke depan.
Kalah Tanding Paket Calon Pimpinan
Fachrul mengatakan, dengan adanya Tatib baru yang akan disahkan dan memuat mengenai mekanisme paket pencalonan Ketua DPD RI, ada sejumlah pihak yang diduga kegerahan lantaran lankah pencalonannya bisa terhalang.
Sebab, La Nyalla saat ini memiliki banyak dukungan secara mekanisme paket. Dukungan untuk La Nyalla untuk mencalonkan diri kembali sebagai Ketua DPD RI sudah mencapai 89 orang anggota dari total jumlah 152 orang anggota DPD RI.
"Dukungan ke kubu Pak La Nyalla ini semakin hari semakin menguat. 63 sisanya bisa saja abstain atau bisa mendukung Pak La Nyalla, bahkan mendukung calon lain," kata dia.
Menurut Fahcrul, penolakan adanya paket ini diduga didasari adanya persoalan kepentingan saja. Padahal mekanisme pengusulan paket oleh Pansus dilakukan sudah cukup lama. Hanya saja baru mendapat penolakan sekarang.
"Yang membuat mekanisme Paket ini, kan, Pansus. Timja hanya melanjutkan. Tidak ada yang diubah sama sekali. Kenapa sekarang (sebagian senator) kok menolak adanya paket? ada apa? ini mungkin persoalan kepentingan saja," ujarnya.
Jika memang ada anggota DPD RI yang ingin mencalonkan diri sebagai ketua, Fachrul tak ambil pusing. Ia justru mempersilakan para kandidat calon agar maju secara demokratis.
"Apakah melalui mekanisme paket atau pemilihan langsung tidak menjadi masalah. Asalkan mekanismenya disepakati bersama secara aturan Tatib nantinya," ujarnya.
Pasal Penghalang
Dalam Tatib yang baru, ada persyaratan yang menyatakan jika calon Ketua DPD tidak pernah melakukan pelanggaran dan kode etik yang telah diputuskan oleh Badan Kehormatan (BK).
Persyaratan tersebut tertuang di dalam Pasal 91 Ayat 5 huruf b. Pasal ini sebetulnya juga sudah tertuang dalam Tatib yang lama.
"Nah sekarang, di dalam tatib yang baru tetap ditegaskan syarat pencalonan ketua tidak boleh pernah mendapatkan putusan BK yang bersifat pelanggaran berat," kata dia.
Alasannya, jika mendapat sanksi berat maka sangkut-pautnya terkait etika, martabat, hingga kehormatan lembaga. Hal inilah yang ditolak oleh beberapa anggota DPD RI. Sebab, diduga ada calon-calon yang ingin maju dan terhalang dengan persyaratan tersebut.
Yang jelas, adanya pasal tersebut sudah diketahui oleh anggota DPD RI lainnya. Apalagi, persyaratan tersebut sudah termaktub di dalam pasal tersebut dan sudah berlaku sejak zaman kepemimpinan Oesman Sapta Odang (OSO) di periode 2014-2019.
"Di Zaman Pak Oesman sudah ditegaskan tidak boleh adanya calon yang pernah dapat pelanggaran putusan BK," katanya.
Dalam Tatib lama, kewenangan BK juga semakin besar dan bisa memecat anggota DPD RI. Status anggota DPD RI bisa dicabut bukan hanya karena mengundurkan diri atau meninggal dunia, namun juga jika melakukan pelanggaran berat. Seperti, melakukan tindak pidana kriminal umum hingga extra ordinary crime seperti korupsi.
"Dulu, anggota DPD statusnya dicabut jika meninggal dunia atau mengundurkan diri. Tapi sekarang bisa dipecat jika melakukan pelanggaran berat," kata dia.
Terkait kericuhan yang terjadi saat Sidang Paripurna pada Jumat pekan lalu, Fachrul mengatakan kini suhu tinggi yang membuat panas sebagian banyak pihak anggota DPD sudah mereda.
Ia menyebut persoalan tersebut kemungkinan besar adanya miskomunikasi antar beberapa pihak saja. Tuduhan tendensius mengenai aturan kecurigaan adanya aturan yang memberatkan juga tidak ada.
"Ini menjadi pembelajaran politik bagi kami di DPD RI. Persoalan bisa diselesaikan dengan kepemimpinan yang baik. Terbukti saat memimpin Pak La Nyalla menunjukkan sikap bijaksana. Kalau beliau orotiter, Tatib sudah diketuk palu. Semua akhirnya happy ending," tutur Fachrul.
Dengan tertundanya pengesahan Tatib yang baru, maka pada Minggu depan akan dilakukan harmonisasi dengan Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI. Untuk detailnya waktunya, Fachrul belum mengetahui secara pasti.
Dapatkan berita pilihan editor dan informasi menarik lainnya di saluran WhatsApp resmi Poskota.co.id. GABUNG DI SINI