POSKOTA.CO.ID - Kebijakan soal program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah menjadi polemik di kalangan masyarakat. Banyak yang menolak karena hanya akan menjadi beban bagi kalangan pekerja.
Tapera awalnya dibuat pemerintahan Jokowi agar masyarakat bisa memiliki rumah, dengan konsep menghimpun dana dari potongan 3 persen per bulannya. Namun nyatanya memicu polemik.
Program Tapera ada dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat, dengan aturan turunannya yaitu PP 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Terkait hal tersebut, Chatib Basri, ekonom senior yang pernah menjabat sebagai menteri keuangan periode Mei 2013-Oktober 2014 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memberi penjelasan sekilas ihwal program Tapera yang kontroversial ini.
Dia mengatakan, UU Tapera pernah dimunculkan pada waktu dirinya menjabat sebagai menteri keuangan pada 2014 di zaman SBY. Namun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipimpinnya kala itu menolak kebijakan Tapera.
"Saya coba jawab. Terus terang, yang terakhir ini saya nggak tahu hitungannya. (Tapi) sebetulnya pada waktu 2014 dimajuin, Kementerian Keuangan menolak itu (Tapera). Makanya undang-undangnya nggak jadi. Kenapa? Karena begini argumennya pada waktu itu," tuturnya, dikutip dari kanal Youtube Malaka Project, Minggu (9/6/2024).
Chatib menjelaskan, isu yang paling besar saat itu adalah adanya beban bagi yang bayar, yaitu pekerja dan pemberi kerja.
Dalam perhitungan Kemenkeu waktu itu, kontribusi dari pemberi kerja dan pekerja terlalu kecil untuk mendapatkan rumah.
Namun, lanjut dia, kalau kemudian dibikin besar bebannya maka terlalu berat juga buat perusahaan. Karena hal ini tidak hanya menyangkut satu dua orang pegawai yang dimiliki perusahaan, tapi banyak pegawai.
"Kalau dia (perusahaan) punya puluhan ribu pegawai, kalikan sekian bebannya. Dan juga kalau pekerjanya dipotong lebih besar, itu lebih berat," terangnya.
Hal berikutnya yang Chatib soroti adalah bagaimana memberikan kontribusi kepada barang yang tidak bisa dikontrol. Misalnya, dia mencontohkan, yang butuh rumah itu adalah orang yang berusia 20 hingga 40 tahun. Tapi mungkin mereka baru bisa dapat rumah di usia 58 tahun.
"Berarti selama dia menunggu sampai (usia) 58 tahun, dia harus beli keluarin uang untuk beli rumah sendiri dong. Jadi, karena waktu itu situasinya masih belum clear, akhirnya diputuskan UU-nya ditolak. Di paripurna, kita bilang belum ada kesepakatan dan kita mesti pelajarin secara lebih detail mengenai ini," kata Chatib.
Dia sebetulnya berharap ada progres dari 10 tahun lalu dan koreksi. Termasuk juga, jika kemudian uang yang dihimpun ini dikelola, maka pertanyaannya siapa yang punya kapasitas untuk mengelola itu.
"Ini kan harus manajer investasi, karena uangnya harus dia putar untuk dapat sesuatu. Nah jangan itu kemudian dianggap bahwa supaya lihatnya dari segi supply, cukup uang untuk bangun rumah mengatasi backlog," paparnya.
Dalam podcast itu, Chatib enggan bicara lebih jauh soal Tapera. Dia hanya berharap, isu yang muncul pada 2014 lalu terkait Tapera ini sudah dikaji.
"Apakah uangnya sudah cukup sekarang, bagaimana hitungannya, saya gak berani judge soal itu," ujarnya.
Dapatkan berita pilihan editor dan informasi menarik lainnya di saluran WhatsApp resmi Poskota.co.id. GABUNG DI SINI