Lima Poin Utama Kritik Terbuka UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Bagi Jokowi

Selasa 06 Feb 2024, 13:53 WIB
UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Tangerang menyampaikan pernyataan sikap dan kritik terbuka kepada Presiden Jokowi. (Veronica)

UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Tangerang menyampaikan pernyataan sikap dan kritik terbuka kepada Presiden Jokowi. (Veronica)

JAKARTA.POSKOTA.CO.ID - Menjelang bergulirnya Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2024 pada 14 Februari 2024, beberapa kalangan menyampaikan pernyataan sikap dan kritiknya kepada Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo.

Antara lain para alumni, civitas academica dan guru besar berbagai universitas di Indonesia, termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Perguruan tinggi negeri itu secara terbuka menyampaikan lima poin utama, yang menyorot dan mengkritisi sikap politik Joko Widodo.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saiful Mujani, berharap pernyataan beberapa komponen, didengar Joko Widodo. Dia melanjutkan, pernyataan sikap itu bisa menjadi bahan pertimbangan penyelenggaraan demokrasi pada pentas Pemilu 2024.

Saiful Mujani mengungkapkan, pihaknya menyampaikan lima poin pernyataan sikap. Dia berpendapat, kelima poin itu mempertimbangkan beberapa hal yang berpotensi membahayakan dan bisa menciptakan disintegrasi bangsa.

"Kita masih punya waktu 10 hari menuju Pemilu 2024. Kami harap,  presiden mendengarkan suara kami dan berbagai komponen bangsa," ungkapnya.

Lima poin pernyataan sikap UIN Syarif Hidayatullah Ciputat

1. Mendesak penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), termasuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) agar profesional dan bertanggung jawab.

Penyelenggara pemilu wajib berprinsip independen, transparan, adil, dan jujur. Menjauhkan keenderungan keberpihakan, mengutamakan kepentingan politik setiap individu, kelompok, partai, dan sebagainya.

Juga tangguh dan kuat mengatasi kemungkinan adanya intervensi berbagai pihak. Berani menegakkan aturan dan menuntaskan berbagai pelanggaran pemilu sesuai aturan. Bahkan jika pelanggaran itu dilakukan pihak yang paling berkuasa di Indonesia.

2. Mendesak presiden dan aparat negara agar netral dan menjadi mengayomi seluruh kontestan pemilu. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan wajib netral dan memfasilitasi seluruh aktivitas pemilu yang berprinsip keadilan. Sikap ini tidak sekadar soal penggunaan fasilitas negara.

Netral dalam hal ini bukan saja tidak menyatakan pilihan politiknya, melainkan juga seluruh sikap dan perilaku sebagai presiden. Terutama, tidak membuat kebijakan yang berpotensi menguntungkan pasangan calon tertentu secara elektoral.

3. Mendesak presiden agar secara serius mengelola pemerintahan demi kepentingan nasional, bukan keluarga atau kelompok yang mengatasnamakan kepentingan nasional.

Aktivitas presiden yang akhir-akhir ini terkesan lebih condong mengutamakan kepentingan elektoral pasion tertentu bukanlah sikap seorang presiden sebagai negarawan.

Situasi ini bukan saja bisa berdampak pada pelayanan pemerintah secara nasional, melainkan juga menimbulkan ketidaksolidan dan ketidanyamanan kabinet.

Kekhawatirannya, jika situasinya terus berlangsung, bisa mengganggu stabilitas nasional. Padahal, berulangkali presiden mengingatkan seluruh elemen masyarakat agar bersuka cita menyambut bergulirnya pemilu-pilpres 2024 ini.

Namun, hari demi hari, yang tercermin adalah kecenderungan sikap kontradiktif. Hal itu menambah kepiluan pemilu-pilpres dan pengelolaan demokrasi.

4. Semestinya, pengelolaan keadaban/akhlak demokrasi ini tidak hanya seperangkat aturan tertulis. Aturan tentang boleh tidak boleh. Keadaban/akhlak demokrasi pun berhubungan erat dengan manfaat atau mudharat bagi kepentingan masyarakat.

Sejak penetapan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi Nomor 90/2023, keadaban/akhlak demokrasi terus merosot. Presiden sebagai kepala negara wajib menjaga dan menjadi contoh agar keadaban/akhlak berdemokrasi itu menjadi laku kehidupan bernegara.

5. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bersikap independen dan profesional. Polri tidak menjadi alat negara yang memunculkan ketakutkan dalam mengekspresikan sikap politik.

Polri pun tidak juga secara mudah menerapkan sanksi pidana atas sikap kritis masyarakat. Polri adalah alat negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban, bukan alat presiden.

Jadi, sudah seharusnya Polri bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pemerintah atau pihak-pihak tertentu. (veronica)

News Update