“..pada setiap pejabat, lebih-lebih yang dipilih rakyat, hendaknya dalam dirinya menjelma kehendak rakyat. Bukan menjelmakan suara dirinya, kelompoknya menjadi suara rakyat.”
-Harmoko-
SIAPA yang akan keluar sebagai pemenang dalam kontestasi politik akan ditentukan sepenuhnya oleh suara rakyat. Siapa yang akan menjadi penguasa ke depan, apakah itu wakil rakyat, presiden, gubernur, bupati, wali kota, bahkan kepala desa akan tergantung seberapa besar suara rakyat.
Kepada siapa suara rakyat diberikan, dimandatkan, dialah yang akan menjadi pemenang kontestasi. Itulah sebabnya, sering diistilahkan, dalam bahasa Latin “vox populi vox der”.
Kata ini cukup populer dan acap diidentikan dengan kalimat sakti yang sudah begitu mendunia. Dalam bahasa Indonesia memiliki makna “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”.
Begitu berharganya, maka suara rakyat menjadi rebutan. Tak jarang, ada yang berupaya “membelinya” melalui beragam cara dan upaya.
Kampanye pemilu seperti yang sedang dilakukan sekarang ini merupakan upaya merebut suara rakyat. Beragam strategi dilakukan dengan maksud meraih sebanyak mungkin suara rakyat guna mencapai kemenangan.
Menjadi ironi, jika menghendaki sebanyak mungkin suara rakyat, tetapi di sisi lain mengabaikan aspirasi rakyat.
Dalam proses menuju pemilu, sudah cukup banyak aspirasi dan harapan rakyat dari berbagai kalangan disampaikan langsung kepada elite politik negeri ini yang turun langsung menyambangi masyarakat.
Kami meyakini, para kandidat telah menyambangi berbagai lapisan masyarakat, mulai dari petani, nelayan, buruh tani, pekerja serabutan, pedagang kecil, usaha kecil, dan kecil – kecil yang lain.
Tak ketinggalan beragam kalangan profesi, cendekiawan, akademisi, pebisnis dan masih banyak lagi kelompok masyarakat yang telah dikunjungi.
Semua untuk menyerap aspirasi, harapan dan kehendak rakyat sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan ke depan, jika terpilih sebagai pemimpin.
Dapat diduga jawaban sementara atas aspirasi rakyat adalah ditampung dan kelak diperjuangkan. Ini yang lazim disebut janji politik.
Namun, tak melulu aspirasi semuanya untuk masa depan. Tak sedikit harapan untuk masa kini, saat sekarang yang sedang dikerjakan, utamanya dalam menjalani tahapan kontestasi.
Ini lebih menyangkut kepada keteladanan seorang calon pemimpin, baik dalam ucapan dan perbuatan, termasuk cara – cara berkampanye, upaya merebut simpati publik.
Di pekan terakhir kampanye terbuka ini, hendaknya para elite dan kandidat lebih kepada upaya meyakinkan publik, memperkokoh citra terbaiknya di mata publik melalui penampilan visualnya.
Meningkatkan kepercayaan publik bukan menjatuhkan lawan dengan menghalalkan segala cara, menebar kebencian, menyebarkan kabar bohong (hoaks), dan keburukan-keburukan lainnya.
Mengingat, beberapa hal dimaksud acap dikritisi karena tak sesuai dengan adat budaya yang berlandaskan nilai – nilai luhur falsafah bangsa, Pancasila.
Publik lebih bersimpati kepada kandidat yang bersikap “ngalah”, ketimbang “pongah.” Menyukai sosok yang tampil rendah hati, ketimbang tinggi hati.
Argumentatif, bukan provokatif, menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaran. Menawarkan solusi, bukan mengumbar janji. Itulah harapan publik.
Masih tersisa waktu sepekan ke depan untuk meningkatkan simpati publik dengan mengedepankan sikap dan perilaku seperti yang diharapkan.
Ini untuk mencegah mencuatnya penafsiran bahwa sebelum terpilih, di saat memerlukan banyak dukungan publik saja sudah mengabaikan harapan publik, apalagi setelah menjabat.
Penafsiran seperti itu tidak sepenuhnya benar, tetapi menjalankan kehendak publik adalah jalan terbaik.
Sebagai politisi sejati tentu sangat tidak berharap dicap memburu suara rakyat selagi perlu, jelang pemilu. Suara rakyat dianggap angin lalu usai pemilu.
Ironi, jika suara rakyat dilirik pun tidak, apalagi dipegang erat sebagai dasar membuat kebijakan sesuai kehendak suara rakyat.
Kita tahu, suara rakyat tentu saja diberikan kepada tokoh yang sehati. Mestinya, tokoh yang dipercaya mendapat mandat tersebut akan menjalankan amanat sebagaimana kehendak suara rakyat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Maknanya pada setiap pejabat, lebih - lebih yang dipilih rakyat, hendaknya dalam dirinya menjelma kehendak rakyat. Logika dasar demokrasi mengajarkan demikian. Bukan menjelmakan suara dirinya, kelompoknya menjadi suara rakyat.
Suara rakyat adalah filter, pengawal dan penyemangat bagi para elite politik dalam menjalankan tugasnya. Jika disadari bahwa tugasnya adalah untuk memajukan, memakmurkan dan menyejahterakan kehidupan rakyat.
Menjadi bahan renungan bagi kita semua, wajarkah jika suara rakyat ini dianggap angin lalu oleh para elite politik negeri ini. Pantaskah sesuatu yang ada, dianggap menjadi tidak ada? (Azisoko).