“Minggu kemarin kalian sepertinya ikut kampanye caleg ya?,” kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan Yudi.
“Siapa bilang, saya seharian di rumah jadi MC,” kata mas Bro.
“Memangnya ada acara apa menjadi MC,” kata Heri.
“Wah kalian kurang update di medsos. MC itu singkatan dari Momong Cucu,” urai mas Bro.
“Bukannya kurang update, aku pikir serius jadi MC. Kan biasanya suka tampil juga sebagai pengisi acara kegiatan sosial, diskusi, edukasi dan motivasi,” kata Heri.
“Iya, itu sebagai kegiatan sampingan,” kata mas Bro.
“Aku pikir ikut kampanye biar ikutan populer. Foto – foto sama capres, cawapres dan caleg terus diupload di medsos,” kata Yudi.
“Kita – kita ini bukan saatnya lagi mencari popularitas. Yang lagi mencari popularitas dan elektabilitas adalah para kandidat,” jawab mas Bro.
“Lebi penting mana sih, elektabilitas atau popularitas,” tanya Heri.
“Kedua – duanya penting bagi para caleg dan kandidat yang ikut kontestasi pemilu. Keduanya saling melengkapi,” urai mas Bro.
“Popularitas bisa mengatrol elektabilitas, sebaliknya elektabilitas akan membuahkan popularitas,” tambah Yudi.
“Tapi tak sedikit yang memiliki popularitas, namun tidak mendongkrak elektabilitas. Hasil survei, elektabilitasnya cenderung stagnan,” kata Heri.
“Boleh jadi karena popularitas semu.Populer karena jabatan tertentu, kasus tertentu atau terbawa popularitas orang lain, keluarganya,” kata mas Bro.
“Bisa juga popularitas yang dimiliki tidak dibarengi dengan upaya- upaya mengatrol elektabilitas, kurang mampu menyerap aspirasi. Gagasan yang ditawarkan tak sesuai dengan kebutuhan rakyat,” ujar Yudi.
“Kondisi yang demikian menjadikan popularitas – tingkat keterkenalan tinggi, tetapi elektabilitas - tingkat keterpilihan menjadi rendah,” ujar Heri.
“Akan lebih baik lagi kalau popularitas yang tinggi itu terbangun karena prestasi yang dimiliki, rekan jejak yang telah teruji. Meski tak jarang juga popularitas menutupi elektabilitas,” urai mas Bro. (joko lestari).