Pola pikir bahwa alam ini sarana yang bisa dieksploitasi sebebasnya harus ditinggalkan. Perlu ada paradigma yang sama bahwa bumi ini titipan anak cucu, bukan warisan nenek moyang yang bisa dieksploitasi sesuka hati, baik perorangan maupun sekelompok orang.
Cukup banyak data diungkapkan sejumlah mengenai kerusakan lingkungan akibat eksploitasi kelewat batas, tanpa memperhatikan daya dukung alam yang terbatas.
Fakta tidak terelakkan kondisi alam negeri kita bukan menjadi lebih baik, tetapi memburuk.Kian bertambahnya wilayah tanah longsor di berbagai daerah, banjir yang kian meluas merambah daerah yang selama ini tidak pernah terendam, kekeringan panjang, kebakaran hutan menjadi indikasi dari kian memburuknya kondisi alam negeri kita.
Sejumlah kebijakan untuk menjadikan bumi pertiwi tetap ijo royo – royo, gemah ripah loh jinawi (memiliki kekayaan alam yang berlimpah), tetapi beragam pelanggaran masih saja terjadi.Illegal logging dan illegal fishing dan ilegal – ilegal tersembunyi masih mewarnai.
Pernah disebutkan pencurian ikan di perairan Indonesia bisa mencapai ratusan triliun triliun per tahun. Begitu juga illegal logging, bukan saja kerugian ekonomi yang cukup besar, juga menimbulkan bencana alam, kerusakan flora dan fauna dan masih banyak lagi.
Pemanfaatan hasil bumi yang berlebihan, karena materialistis – ekonomis, semata kepentingan bisnis, membuat banyak negara menjadi gersang, sebut saja Afrika.
Indonesia juga mengalami, dulu menjadi negara pengekspor minyak dunia, kini menjadi pengimpor minyak.
Alam memang sumber bahan baku bagi dunia bisnis,tetapi apa yang ada di alam bukannya tidak akan habis. Lebih – lebih jika tidak dikelola secara baik, akan cepat habis yang merugikan segenap penghuninya.
Itulah perlunya kebijakan pro lingkungan. Seluruh kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, tidak semata mengejar batas kemakmuran, tetapi melalaikan kelestarian sumber daya alam itu itu sendiri yang ditandai dengan rusaknya lingkungan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Lebih ironi lagi, jika manfaat yang didapat hanya dinikmati segelintir orang, tetapi generasi mendatang yang menanggung akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Ini baru satu sisi, soal kebijakan lingkungan alam. Belum lagi lingkungan sosial, adat dan budaya yang juga menjadi potensi negeri kita. (Azisoko).