“Saatnya para elite politik menyajikan narasi kebaikan dan gagasan brilian dalam meraih dukungan. Bersikap bijak dalam menyampaikan kritikan, menerima kritikan dan merespons kritikan.”
- Harmoko -
Perlu edukasi untuk mencetak pahlawan era kini, sebagai “pejuang sejati” yang tulus tanpa pamrih dan pencitraan dalam membela kaum lemah,mengentaskan kemiskinan, mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan peradaban umat manusia.
Edukasi dimaksud bukan melalui doktrin dan pernyataan, tetapi keteladanan bagi para pemimpin negeri ini di semua tingkatan, melalui satunya kata dengan perbuatan.
Tak hanya pemimpin, para pemuka agama, ilmuwan, saintis, sastrawan,
seniman dan budayawan serta para tokoh masyarakat dari beragam profesi, layak dijadikan sebagai figur teladan dalam menularkan nilai – nilai kepahlawanan di era digital.
Begitu juga para elite politik, calon pejabat publik hendaknya menjadi teladan terdepan dalam aktualisasi nilai –nilai kepahlawanan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di era kini, memasuki pentahapan pilpres dan pileg, bagaimana semua pihak yang terlibat dalam kontestasi dapat berkata, berpikir dan berprasangka baik.
Berbicara dan berperilaku baik di tahun politik bagian dari implementasi nilai–nilai kepahlawanan di era sekarang.
Sebab, bicara kepahlawanan adalah mengamalkan nilai – nilai kebaikan, bukan keburukan. Menebarkan banyak pahala, bukan dosa. Mengupayakan kemajuan, bukan kemunduran. Membangun, bukan merusak.
Semua agama besar yang dianut umatnya di negeri Pancasila, sebagai ideologi yang mempersatukan kita, mengajarkan tentang hal- hal kebaikan. Berbuat kebaikan.
Jika itu telah menjadi konsensus bersama, mestinya tidak ada lagi tempat untuk menyakiti dan merusak suasana yang sudah terjalin baik ini, hanya karena adanya perbedaan pilihan dan dukungan dalam pilpres.
Berbeda itu biasa karena kita dilahirkan dari adanya perbedaan. Beda suku, beda agama dan beda tata cara kehidupan serta beda dalam pilihan partai politik, caleg dan capres – cawapres.
Namun, kembali nilai dasar falsafah bangsa kita, kebaikanlah yang harus
menjadi hasil akhirnya. Kebaikan untuk bangsa, untuk kita semua, siapa pun pemenangnya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Boleh jadi rakyat sudah lelah menyaksikan ketidakbaikan dengan beredarnya berita tentang keburukan, berita palsu, prasangka buruk dan merebaknya fitnah dengan beragam narasinya yang memenuhi ruang publik di tahun politik ini.
Jangan sampai titik jenuh tercipta yang berimbas kepada sikap antipati
masyarakat menyongsong gelaran pilpres dan pileg.
Kondisi yang meresahkan ini harus dicegah dan disudahi. Dan, hanya
kebaikanlah sebagai esensi nilai –nilai kepahlawanan yang dapat
menyudahinya.
Ini kembali kepada para elite politik, kandidat dan calon pejabat publik serta semua pihak yang terlibat dalam kontestasi, untuk tidak lagi mengemas narasi keburukan.
Ingat! Narasi keburukan yang diposting akan cepat menyebar dan dengan
mudahnya dapat diakses dari segala penjuru tanpa batasan ruang dan waktu, kapan saja, oleh siapa saja.
Berpotensi menimbulkan kegaduhan karena merangsang semua orang cepat bereaksi, kadang tanpa terlebih dahulu mau memahami apa yang sebenarnya terjadi, apalagi dengan menambahi narasi dengan versinya sendiri.
Saatnya para elite politik menyajikan narasi kebaikan dan gagasan brilian dalam meraih dukungan.
Bersikap bijak, menggunakan akal budi dalam menyampaikan kritikan,
menerima kritikan dan merespons kritikan.
Bagi kita semua, bijak pula dalam menggunakan media sosial dengan
menebarkan informasi positif, bukan negatif. Posting narasi membawa manfaat, maslahat, bukan mudarat. Hal – hal yang penuh kebaikan, bukan keburukan.
Itulah perilaku “kepahlawanan” di era digital, utamanya dalam bermedia sosial. (Azisoko)