Harga cabai kembali naik tembus hingga Rp 90 ribu per kg. Ibu - ibu bukannya mengeluh, tapi para suami yang protes karena hidangan tanpa sambal di meja makan. Makanan terasa hambar karena nggak ada rasa pedas sebagaimana lazimnya. Malah terasa asin.
Ketika hal itu ditanyakan kepada istrinya, sang istri dengan santainya menjawab, rasa cabai sekarang sudah berubah. Di musim kemarau panjang ini, rasa cabai tak lagi pedas, tetapi asin.
Sang suami terpana sejenak mendapat jawaban istrinya. Dalam hatinya, berpikir aneh juga rasa cabai menjadi asin gara- gara nggak ada hujan.
"Kok bisa asin sih ma," tanya suami. "Iya. Karena harganya bikin bludrek" jawab sang istri.
"Bapak sih maunya komplit, tapi nggak mikirin yang di rumah, harga - harga naik, cabai naik, apa - apa naik, gaji nggak naik-naik" tambah sang istri.
Sang suani termenung sejenak. Mau marah urusan bisa panjang dan ribet, tidak ditanggapi dibilang nggak peka. Akhirnya cuma bisa bilang, kalau mau protes soal harga naik, jangan ke papa dong, tapi kepada pemerintah. Kepada pejabat yang ngurusi percabaian.
" Ini cerita fiksi atau pengalaman pribadi," kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan Yudi.
"Ini bukan soal pengalaman pribadi atau apa, yang pasti emak emak lagi sengit soal harga cabai yang melejut, " kata mas Bro.
"Wah pantas di rumah dalam beberaoa hari tak ada sambal, rupanya ibu-ibu lagi protes. " kata Heri.
"Itu namanya suami nggak peka mas, di luaran sudah heboh harga- harga lagi pada naik," celetuk Ayu Bahari, pedagang warteg.
"Jadi nggak kemarau, nggak penghujan harga cabai tetap naik, " kata Yudi.
"Kemarau kekeringan, penghujan kebanjiran. Itu memang adanya.
Tetapi bagaimana harga tetap stabil, tidak melonjak," urai Yudi.
"Itu harapan rakyat, lebih - lebih kita kita ini, wong cilik," ujar mas Bro. ( joko lestari)