BELUM selesai isu dinasti politik diperbincangkan, mulai mencuat harapan netralitas bagi pejabat negara yang anggota keluarganya ikut kontestasi pilpres.
Netralitas berarti tidak adanya keberpihakan bagi pejabat dalam penggunaan fasilitas negara, pemberian akses bagi bagi kepentingan paslon capres-cawapres.
Harapan itu mencuat mengingat, Capres Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, sementara pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, adalah putra Presiden Jokowi, yang juga menjabat sebagai wali kota Solo.
Harapan soal netralitas memang sah-sah saja, dan wajib adanya, mengingat pula adanya kekhawatiran pejabat negara menggunakan “kekuasannya” untuk membantu anggota keluarganya memenangkan kontestasi.
Soal netralitas bukan hanya kali ini dibahas, tetapi setiap jelang pemilu, apakah itu pilkada, pilpres maupun pileg, ramai dikupas.
Bukan hanya netralitas bagi pejabat, juga Aparatur Sipil Negara (ASN) diminta bersikap netral dalam pemilu.
Wajar saja karena ASN merupakan pemilih potensial. Meski bebas dan rahasia dalam menentukan hak pilihnya, tetapi ASN tetap memiliki jalur birokrasi.
Diharapkan ASN bersikap netral dalam memberikan dukungan, dalam artian tidak memihak salah satu pihak dalam memberikan pelayanan kepada kontestan.
Tetapi begitu memasuki bilik suara, menjadi tidak netral, karena pilihan adalah soal nurani.
Netralitas bagi pejabat menjadi sorotan, karena dengan jaring kekuasaan yang dimiliki bisa membuka akses seluas mungkin bagi anggota keluarganya untuk memenangkan kompetisi.
Sebut saja dengan memberi kemudahan dalam penggunaan fasilitas negara, fasilitas pemerintahan daerah hingga pengerahan dukungan massa.
Ditambah lagi sosok pejabat yang bersangkutan akan menjadi daya tarik lahirnya simpati, apalagi pejabat dimaksud sudah teruji keberhasilannya sehingga dicintai rakyat.
Yang hendak disampaikan adalah tanpa menggunakan pengaruh “kekuasananya” sejatinya sosok pejabat dapat mendulang suara bagi anggota keluarganya yang ikut kontestasi.
Ini berlaku bagi sosok pejabat yang teruji amanah, dan berhasil memajukan bangsa serta menyejahterakan rakyatnya.
Bagaikan memilih pasangan, faktor “bobot, bibit dan bebet “ bisa menjadi rujukan.
Lain halnya bagi pejabat yang belum teruji, keraguan menyelimuti, boleh jadi memanfaatkan peluang dengan jaring “kekuasannya” untuk memenangkan kontestasi anggota keluarganya.
Maknanya, kekuasaan bisa dijadikan peluang mendulang dukungan. Persoalannya, mau menggunakannya, apa tidak.
Ini kembali kepada kejujuran dalam menggunakan kekuasaan, tentu bersandarkan kepada norma, etika dan moral. (*)