Singgung Etika Politik, KH Marsudi Syuhud Ingatkan Calon Penguasa Jangan Tebar Janji Terlalu Tinggi

Jumat 13 Okt 2023, 22:39 WIB
KH Marsudi Syuhud singgung etika politik calon penguasa. Foto: MUI.

KH Marsudi Syuhud singgung etika politik calon penguasa. Foto: MUI.

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Etika calon penguasa saat ini ramai disorot publik. Hal ini terkait dengan visi misi para calon presiden dan wakil presiden yang dibawa jelang kontestasi Pilpres 2024 mendatang.

Sebabnya, ini terkait adanya peluang ingkar janji para calon penguasa pasca pemilihan presiden digelar. Apalagi tidak ada sanksi dalam ketatanegaraan kita yang membahas langsung para pemimpin yang ingkar janji.

Dalam demokrasi elektoral, satu-satunya hukuman adalah sanksi sosial, yakni tidak dipilih kembali. Dan saat ini, jelang pesta demokrasi, janji manis bertebaran di sana-sini.

Yang jadi pertanyaan, apakah program dan gagasan yang diutarakan akan ditunaikan jika terpilih? Dan seperti apa pandangan Islam terkait etika politik para calon penguasa.

Wakil Ketua Umum MUI KH Marsudi Syuhud mengatakan ketidakpercayaan publik pada pemimpin berkaitan dengan etika politik sebenarnya bermuara pada janji-janji yang disampaikan ketika kampanye.

Ada sejumlah janji-janji politik yang kemudian dianggap sulit untuk diwujudkan. Hingga akhirnya publik skeptis dengan para calon pemimpin yang hendak maju berkontestasi.

"Karena yang terjadi, yang dirasakan, janji-janji politik, yang ketika disampaikan ketika kampanye, itu tidak semuanya bisa dilaksanakan. Permintaan-permintaan yang dulu dijanjikan mau dikasih, itu tidak bisa dipenuhi, maka disebut pembohong," kata KH Marsudi Syuhud dalam diskusi live di MetroTV dengan tema 'Etika Calon Penguasa - Visi Negarawan', disitat redaksi Poskota.co.id, Jumat 13 Oktober 2023 malam.

Dari sanalah menurutnya, muncul stigma yang berkembang di masyarakat, bahwa ada pendapat apa yang kerap disampaikan para calon pemimpin ternyata tidak sesuai dengan apa yang dikatakan.

"Karena ada guyonan, politik itu bacanya kayak bahasa Inggris, tulisannya bus bacanya bas, artinya bis, bisa gedebus, gedebas, gedebis. Dan jika itu dilakukan maka artinya memang tidak beretika. Maka jangan heran jika ada jajak pendapat yang menyebut ada 78 persen masyarakat tidak percaya," kata KH Marsudi Syuhud menjelaskan.

Dia berharap ke depan, para calon presiden, gubernur, bupati walikota, ketika hendak menyampaikan janji, adalah sesuatu yang mampu untuk dikerjakan, agar tidak lagi disebut sebagai seorang pembohong.

Etika Politik dalam Islam

Dalam kesempatan itu, tokoh Nadhlatul Ulama (NU) ini juga mengurai etika politik dalam Islam. Menurutnya, etika politik dalam Islam pada dasarnya berkaitan dengan Nidzom.

Nidzom atau sistem adalah serangkaian peraturan yang membatasi dan mengatur sisi kehidupan manusia. Aturan-aturan tersebut adalah peraturan yang telah disepakati.

Kata Marsudi Syuhud, para calon pemimpin atau pemimpin terpilih, termasuk rakyatnya, sejatinya minimal harus menaati aturan yang berlaku.

"Itu ditaati saja, sudah sangat bagus. Misalnya aturan pemilu, yakni UU Pemilu. Kalau 5 tahun, jalankanlah 5 tahun, engak usah diganggu dan sebagainya." 

"Begitupula ketika etika sudah menjadi aturan-aturan, ada UU, sampai adanya KPU, pengawas pemilu, bahkan adanya pengadilan jika terjadi perseteruan, itu semua aturan Nidzom, etika yang sudah ditulis. Harus diikuti, jangan mencoba-coba mempermainkan itu," kata dia.

KH Marsudi Syuhud kemudian merujuk pada kitab Matan Zubad karya Imam Ahmad bin Ruslan yang menyebut, masyarakat tak boleh keluar dari apa yang sudah disepakati. Apalagi jika kesepakatan itu sudah menjelma menjadi aturan.

"Jadi enggak usah bikin aturan-aturan baru. Ikutin saja, enggak boleh keluar dari aturan, karena kalau keluar dari sana, harus membuat musyawarah, harus sepakat dulu."

"Karena negara kita negara kesepakatan, atau negara konsensus. Yang dalam pandangan beberapa organisasi, termasuk NU, Muhammadiyah, dan MUI, ini adalah negara yang lahir dari kesepakatan dan harus diikuti," katanya.

Tidak Boleh Golput

KH Marsudi Syuhud juga menyebut, etika politik yang berkaitan dengan Nidzom juga berlaku dalam memilih pemimpin, yakni konteks Pilpres, Pilgub, Pilwalkot, dan sebagainya.

Lantaran menurut etika dalam agama, memilih pemimpin status hukumnya adalah fardhu. Maka, tidak boleh ada yang golongan putih (golput) saat Pemilu digelar.

"Tinggal digunakan hak itu, dan dilihat apakah mereka memiliki kapabilitas punya sifat adil, komplet, paripurna, tinggal ditimbang saja siapa yang tepat untuk dipilih," katanya.

Satu hal penting lainnya, walau terkadang ada calon pemimpin beda pilihan, namun masyarakat juga diminta untuk tidak menjadi provokator, dan menebar hoaks, dengan mengajak orang membenci calon pemimpin lain.

Ini penting agar menumbuhkan suasana damai, dan terbebas dari keterbelahan di kalangan masyarakat.

News Update