“Yang diperlukan adalah keteladanan para elite politik, tidak sebatas menyerukan netralitas. Sangat mendasar 'satunya kata dengan perbuatan' untuk diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Senyawa antara kata dan perbuatan.”
-Harmoko-
Sering dikatakan, netralitas dan keterbukaan menjadi penopang terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, lebih – lebih jelang dan saat penyelenggaraan pemilu.
Netralitas dimaksud bukan saja bagi aparatur sipil negara (ASN), anggota TNI dan Polri seperti yang selama ini acap menjadi topik bahasan.
Tak kalah pentingnya adalah netralitas bagi penyelenggara pemilu, badan pengawas serta unsur lain yang terlibat dalam pelaksanaan hajatan nasional lima tahunan ini.
Terindikasi bersikap tidak netral akan memicu munculnya perdebatan yang menjurus kepada persengketaan dan perselisihan. Jika keberpihakan semakin nyata dapat menghadirkan mosi tidak percaya terhadap legalitas hasil pemilu yang berujung kepada terganggunya kondusifitas.
Menjaga netralitas berarti bersikap jujur, adil, konsisten, transparan, objektif, tidak diskriminatif dalam merespons aduan hingga penyelesaian sengketa. Tidak memihak salah satu kontestan pemilu, menjauhkan diri dari kepentingan kelompok dan politik tertentu.
Tidak tergoda rayuan, bujukan dan hasutan pihak tertentu. Mampu membebaskan diri dari beragam upaya intervensi, tidak takluk karena kekuatan dan kekuasaan.
Kadar netral dan tidak netral, tidak bisa diukur secara matematis. Yang mengetahui persis, adalah diri sendiri. Tetapi publik dapat merasakan dari kebijakan yang digulirkan dan tindakan yang dilakukan.
Karena itu soal netral dan tidak netral kembali kepada hati nurani. Kita meyakini, penyelenggara dan pengawas pemilu akan amanah dalam menjalankan tugasnya sebagaimana sumpah yang telah diucapkan saat pelantikan.
Begitu juga netralitas bagi ASN, bisa terlihat abu- abu, mengingat ASN mempunyai hak pilih baik dalam pilpres, pileg maupun pilkada. Tetapi dilarang menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu kekuatan politik yang menjadi kontestan. Misalnya, menghadiri deklarasi capres, ikut kampanye dan kegiatan politik lainnya yang bersifat dukungan.
Dapat dikatakan dukungan cukup di hati dan saat pencoblosan, tetapi tidak harus dipertontonkan.
Larangan ini mudah terdeteksi karena kasat mata, tetapi bagaimana dengan larangan menggunakan fasilitas negara, kekuasaan yang dimilikinya untuk mengarahkan dukungan kepada kandidat atau kekuatan politik tertentu? Jawabnya kembali kepada hati nurani masing – masing.
Lain halnya dengan anggota TNI dan Polri yang tidak mempunyai hak pilih. Tidak punya kepentingan politik, yang ada kepentingan politik keamanan, menjaga stabilitas keamanan demi kelancaran pemilu.
Tetapi apapun profesi kita, siapa pun dia wajib menjaga kondusifitas demi mewujudkan pemilu yang demokratis, jujur dan adil, tertib, aman dan damai. Pemilu yang membawa kemajuan bagi bangsa dan negara dengan terpilihnya pemimpin yang terbaik.
Netralitas, jujur dan adil, tanpa kecurangan akan membawa kepada pemilu yang bermartabat,semakin mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa, bukan menyisakan keterbelahan, polarisasi dan perselisihan yang dapat mengganggu stabilitas politik maupun stabilitas ekonomi di kemudian hari.
Kita paham betul, stabilitas politik merupakan prasyarat bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, sementara kesejahteraan akan menjamin adanya stabilitas nasional.
Di sisi lain, stabilitas ekonomi dan politik, juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan agar keberlangsungan pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran berproses mencapai tujuan.
Yuk kita songsong pemilu dengan penuh kecerian untuk membangun bangsa ke depan lebih baik lagi, lebih hebat lagi, lebih disegani dunia. Singkirkan keberpihakan dari para penyelenggara dan pengawas pemilu serta aparatur negara di semua tingkatan dalam mengawal pesta demokrasi.
Netralitas tentu bukan sebatas di atas kertas, bukan kata –kata yang terucap tanpa bekas. Netralitas bukan hanya rutin dibahas, tetapi tak pernah tuntas.Bukan pula acap dikaji, tetapi jauh dari realisasi.
Yang diperlukan adalah keteladanan para elite politik, tidak sebatas menyerukan netralitas dalam pemilu, tetapi jauh dari perilaku. Karenanya sangat mendasar “satunya kata dengan perbuatan” untuk diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Senyawa antara kata dan perbuatan seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Boleh jadi semua orang pandai bicara, retorika penuh kharisma membahas netralitas, tapi jika perbuatannya tak sejalan dengan ucapannya, sama halnya mencela diri sendiri.
Bagaikan pepatah “Kakehan gludhug, kurang udan” - yang artinya kakehan gludhug = banyak guruh, kurang udan = sedikit hujan. Jika diterjemahkan secara bebas adalah “Banyak bicara tanpa kenyataan.“ Omong gede outputnya kurang. (Azisoko)